Januari 2006, seorang psikiater asal New York menggambar sketsa wajah pria yang berulang kali muncul di mimpi pasiennya. Beberapa hari berselang, pasien lain menyebut sang pria juga kerap mendatangi mimpinya. Belasan tahun berlalu, dan sudah lebih dari 8.000 orang melontarkan pengakuan serupa. Kalian yang sudah berkenalan dengan internet sejak 2000-an tentu mengenal pria misterius yang dipanggil “This Man” itu.
Beberapa tahun berselang, terungkap bahwa fenomena This Man hanya bagian stunt marketing. Tapi di hadapan Kristoffer Borgli selaku sutradara sekaligus penulis naskah Dream Scenario, hoax tersebut dapat beralih fungsi menjadi pondasi kisah kreatif yang kental aroma Jungian.
Melihat kepalanya yang nyaris botak, mudah mengasosiasikan Paul Matthews (Nicolas Cage) dengan sosok This Man. Dialah protagonis yang bakal kita ikuti perjalanan absurdnya. Seorang profesor biologi yang mendadak muncul di mimpi banyak orang, dari kerabat dekat hingga mereka yang sama sekali tak mengenalnya.
Seluruh mimpi itu (menghadirkan deretan skenario aneh yang selalu menghibur) memiliki satu kesamaan, yakni Paul senantiasa bersikap pasif. Apa pun yang dialami sang pemimpi, dari dikejar pembunuh hingga gempa dahsyat, Paul hanya berdiri diam tanpa mengulurkan bantuan. Terdengar janggal, namun Paul di dunia nyata sejatinya tidaklah begitu berbeda.
Sudah bertahun-tahun ia mengutarakan niat menerbitkan buku tapi tak kunjung direalisasikan. Pun di satu kesempataan, sewaktu sedang bersama sang istri, Janet (Julianne Nicholson), Paul tidak sengaja bertemu mantan kekasihnya, Claire (Marnie McPhail). Janet jelas kurang nyaman dengan pertemuan itu, tapi Paul tidak berbuat apa pun.
“Tidak berbuat apa pun” dan “membosankan” memang bak jati diri Paul yang turut diamini banyak pihak. Sehingga, saat arketipe itu pula yang muncul di tiap mimpi, Dream Scenario pun memulai perjalanannya menelaah teori ketidaksadaran kolektif kepunyaan Carl Jung. Tentunya dengan cara menyenangkan yang jauh dari kegiatan belajar di kelas.
Nantinya pokok bahasan Dream Scenario bakal semakin luas nan ambisius. Selain sorotan terhadap psikis sang protagonis, hadir pula sentilan terhadap budaya media sosial yang dapat dengan gampang mengangkat lalu menjatuhkan hidup seseorang lewat kemampuannya menyetir persepsi publik.
Ada kalanya ambisi Borgli melebihi ruang yang ia dapat untuk menuangkan cerita, tapi filmnya tak pernah kehilangan pesona. Visual memikat mata, penyuntingan yang begitu cerdik mewakili isi hati karakter (transisi yang acap kali terkesan chaotic menyimbolkan kecanggungan Paul dalam interaksi sosial), dan tentunya akting “Lord Cage” yang berkesempatan menampilkan dua sisi Paul: si kikuk dan si pria histeris (Nouveau Shamanic at its best).
Kelak, pertemuan dengan Molly (Dylan Gelula) membawa hidup Paul ke titik balik kedua. Paul yang selama ini hanya diam akhirnya berani bertindak, sayangnya dalam hal yang keliru. Sedangkan Molly ingin mewujudkan mimpinya, tapi skenario impian tidak selalu seindah bayangan. Paul pun mendapati bahwa menjadi terkenal tak serta merta menyukseskan karir menulisnya sebagaimana ia duga. Seperti namanya, skenario impian memang tidak lebih dari sekadar mimpi.
+ There are no comments
Add yours