JAKARTA – Setelah Fall, Beast jadi film bioskop berikutnya yang bertema survival thriller. Kali ini, aktor kawakan Idris Elba dipaksa berhadapan dengan singa yang kekuatannya di atas rata-rata. Sebagai sutradaranya, ada Baltasar Kormakur, sineas Islandia yang sebelumnya sudah membuat film dengan tema serupa, yaitu Everest (2015) dan Adrift (2018). Everest berlatar di gunung, Adrift di laut, sedangkan Beast di hutan Afrika Selatan. Beast mengacu pada sosok singa jantan yang menjadi target para pemburu gelap.
Tiap malam tiba, sekelompok pemburu ilegal tersebut menjerat dan menembak kawanan singa. Tujuannya, untuk menjual organ-organ tubuh mereka yang nilainya tinggi di pasaran. Beast adalah satu-satunya singa buruan yang lolos pada sebuah malam yang mengerikan. Alih-alih kabur, ia malah balik menyerang lebih dari lima pemburu, dan pada akhirnya menewaskan seluruh penjahat itu.
Sampai di sini, Baltasar sebenarnya menempatkan Beast sebagai sosok yang patut dikasihani. ia menyerang demi bertahan hidup. Namun tentu saja ini tak berarti Beast bisa memilih-milih korbannya dengan bijak. Tetap saja, kalau melihat manusia di hadapannya, ia pasti akan menyerangnya. Target Beast berikutnya adalah Nate (Idris Elba) yang membawa kedua anak perempuannya yang masih kecil/pra-remaja, yaitu Mare (Iyana Halley) dan Norah (Leah Sava), ke Afrika Selatan. Negara ini istimewa buat mereka karena mendiang ibu Mare dan Noah berasal dari sana.
Di negara itu, mereka tinggal bersama Martin (Sharlto Copley), seorang ahli biologi yang juga teman lama Nate. Martin pula yang mengajak Nate dan kedua anaknya berkeliling ke cagar alam demi melihat hewan-hewan buas yang bebas berkeliaran di sana. Tentu saja, acara jalan-jalan ini tidak berlangsung mulus karena di tengah perjalanan mereka bertemu Beast. Selayaknya sebuah film survival, mereka juga terjebak di tempat terpencil, tanpa bisa menghubungi siapa pun, dengan logistik yang sangat tipis.
Dengan Baltasar Kormakur sebagai sutradaranya, Beast tentu saja tidak kesulitan menampilkan adegan-adegan menegangkan yang membuat penonton mengeluarkan jeritan tertahan saking deg-degannya. Bayangkan kengerian saat menonton Jurassic Park, terutama saat calon mangsa bersembunyi dan tidak bisa menebak di mana hewan buas itu berada. Juga saat tiba-tiba sang hewan raksasa itu muncul di depan wajah calon mangsanya. Kira-kira seperti itulah ketegangan dan kengeriannya.
Tentu saja levelnya buat tiap individu bisa berbeda-beda, lebih seram atau kurang seram dibanding Jurassic Park. Yang menarik dari film ini, Nate meski badannya besar dan gagah, tidak punya cukup pengetahuan dan keterampilan untuk melawan Beast. Ia lebih banyak bingung, bergerak sesuai insting dibanding akal sehat atau logika. Namun ini yang membuat film Beast jadi menarik.
Selayaknya film survival dengan lebih dari satu orang yang bertahan hidup, Beast juga menyelipkan konflik personal antara Nate dengan anak-anaknya. Sayangnya, konflik ini seolah hanya tempelan saja.
Yang juga disayangkan, meski Beast sangat menegangkan pada awal dan tengah film, tapi adegan klimaksnya justru tak terlalu memikat. Secara skala, adegan tersebut memang lebih heboh dibanding adegan-adegan penyerangan sebelumnya, tapi terasa kurang menegangkan. Salah satu penyebabnya bisa jadi karena adegan tersebut tiba-tiba muncul dan selesai begitu saja, lalu film pun berakhir. Rasanya ‘kentang’ saat ekspektasi melihat adegan yang lebih menegangkan dan mengerikan sudah tertanam di kepala.
+ There are no comments
Add yours