Sunya, Mengorek Budaya Jawa dengan Unsur Klenik

Sunya, Mengorek Budaya Jawa dengan Unsur Klenik

Jakarta – Saat ini, di beberapa bioskop Indonesia tengah tayang film bertajuk Sunya besutan sineas Tanah Air, Harry Suhariyadi, atau yang akrab disapa Harry Dagoe. Diputarnya film ini dirasa menghidupkan kembali nuansa tradisional Jawa dengan bahasa penyampaian yang kontemporer.

Film drama ini memang bukan satu karya yang bisa dinikmati oleh semua kalangan di Tanah Air. Pasalnya, banyak adegan-adegan yang disajikan secara abstrak dan harus ditelaah pelan-pelan dari satu rangkaian ke rangkaian lainnya. Adapun fokusnya berpusat pada satu orang bernama Bejo.

Alkisah, Bejo cilik kerap mengalami kejadian aneh dan gaib semenjak sang ibu meninggalkannya secara misterius. Kisah mengalir saat ia beranjak dewasa, dan hasrat meminang wanita idamannya, Raisya, akhirnya tercapai. Sayang, Bejo malah dituduh memelet Raisya oleh orang-orang di sekitarnya.

Situasi semakin kompleks ketika Bejo menerima kabar dari rumah sakit bahwa neneknya sedang sekarat. Namun dokter yang memeriksanya tidak melihat gejala penyakit apa pun. Dunia klenik lantas ditempuh Bejo agar kesembuhan sang nenek bisa diwujudkan.

Bersamaan dengan itu, konsekuensi yang harus ia jalani tidaklah main-main. Ternyata hal tersebut juga berhubungan dengan kehidupannya yang misterius sejak masih kecil. Interaksinya dengan Rohman serta pertemuannya dengan raksasa misterius, menjadi salah satu kunci masa depan dan masa lalu Bejo yang selalu berjalan dengan bias.

Kira-kira, seperti itulah sinopsis film Sunya. Kalau dibaca, memang kita mendapat bayangan yang menarik dan berhasil dibuat penasaran. Namun begitu ditonton, bersiaplah untuk bekerja keras mencari-cari logika dan menerka-nerka ke mana arah film ini.

Dari satu fragmen ke bagian lainnya, penonton disuguhi oleh berbagai momen yang terkesan sangat unik. Seperti adegan kilas balik yang menggambarkan anak kecil yang melihat seorang wanita menari di sebuah kamar. Lantas muncul sepasang kaki pria misterius yang tiba-tiba mengeluarkan darah yang muncrat ke wajah sang wanita. Adegan ini lantas berlanjut ke adegan lain yang tidak terlalu terang apa kaitannya.

Alur potongan-potongan yang ditampilkan, memang menimbulkan kesan bahwa beberapa adegan dibuat tidak berurutan. Apalagi, alur kilas balik dan masa kini ditampilkan secara tiba-tiba di awal dan tengah film.

Berani membuat film seperti ini, menjadi satu hal istimewa bagi Hari Dagoe. Terlebih, seluruh dialog dilontarkan dalam bahasa Jawa dan kultur Jawa Tengah di sepanjang film sangat kental, lengkap dengan filosofinya. Film yang diadaptasi dari cerita pendek “Jimat Sero” ini mencoba bermain-main dengan unsur gaib, tanpa bermaksud membuat atmosfer film jadi mencekam.

Semua hal itu digambarkan dengan sangat tersirat, meski terkadang vulgar dan bermain-main dengan hal yang tabu.

Ketika Liputan6.com menyaksikan gala premiere film ini di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta, Rabu (5/10/2016) lalu, setidaknya ada empat adegan berani yang mengekspos bagian vital beberapa pemain. Satu di antaranya terlalu frontal. Namun, tim film menjanjikan adegan-adegan seperti ini disensor ketika tayang di bioskop.

Ada beberapa hal menarik yang terlontar dari para pemain selama syuting film ini. Misalnya saja Erlandho Saputra yang kesulitan dalam mendalami perannya sebagai Bejo. “Saya berkali-kali diketusi oleh Mas Hari sampai akhirnya sadar kalau saya memang harus lepas dan benar-benar menjadi gila untuk merebut peran Bejo,” katanya di gala premiere.

Astri Kusumawardhani yang memainkan Raisya juga datang ke gala premiere lebih unik lagi. Ia menyatakan kesannya setelah menonton film Sunya pertama kali di gala premiere. “Ini pertama kalinya saya nonton film ini. Sebelumnya deg-degan dengan hasilnya, karena saya aslinya bukan aktris, tapi penari. Tapi setelah menonton, saya malah makin nggak ngerti apa maksud film ini,” ujar Astri sambil tertawa malu.

Lain lagi dengan Eko Supriyanto yang memerankan Rohman. Adegan frontalnya yang menunjukkan bagian tubuh “terlarang” di film ini, sempat menimbulkan berbagai pertanyaan nakal. Namun, Eko yang merupakan penari profesional ini tetap membawa Sunya ke ranah positif. “Film Sunya ini mengingatkan saya pada almarhum Mbah saya, sehingga banyak hal positif yang bisa saya petik selama bermain sini,” kata Eko.

Hari Dagoe menggambarkan Sunya sebagai satu karya dalam menggambarkan masyarakat di negeri ini yang seperti dua sisi mata uang. Di matanya, kebanyakan masih mempercayai hal-hal klenik setelah mereka menikmati hal-hal logis seperti perkembangan teknologi hingga belanja di luar negeri. Film ini sempat diputar di bioskop 21 Cineplex dan masih berlangsung di CGV Blitz.

bet4d

bet4d

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours