Review Film: Ipar Adalah Maut

Review Film: Ipar Adalah Maut

Beberapa tahun lalu ada serial Layangan Putus yang sanggup bikin penonton emosi gara-gara Mas Aris. Kali ini Ipar Adalah Maut adalah ‘saudara’ layar lebarnya, yang juga sama-sama punya karakter bikin emosi bernama Aris.

Bedanya, saya masih menganggap Layangan Putus lebih fenomenal dan catchy sehingga bisa membuat sejumlah kata menjadi tren, seperti Cappadocia atau “it’s my dream, not her!”. Padahal, penulis dua gambar bergerak ini adalah sama.

Meski begitu, naskah Ipar Adalah Maut yang ditulis oleh Oka Aurora berdasarkan kisah dari Eliza Sifa ini terbilang menghibur dan digarap dengan cukup baik untuk sebuah narasi yang biasanya muncul di FTV atau sinetron.

Memang ada sebagian percakapan dalam naskah yang ditulis Oka terasa cringe dan artifisial. Namun mengingat alur ceritanya mampu membuat sebagian penonton perempuan tak bisa menahan emosi di dalam bioskop, saya beri Oka nilai plus.

Saya sendiri tidak sebegitu terpancing dengan kisah Aris (Deva Mahenra) dan Rani (Davina Karamoy) di film ini, tapi memang rasanya dimaklumi bila mereka jadi bahan umpatan atau ledekan usai keluar bioskop.

Penampilan Deva dan Davina sudah cukup untuk membuat saya geleng-geleng kepala atas kisah Aris dan Rani. Apalagi mengingat film ini berdasarkan kisah nyata dan sempat viral di media sosial.

Oka mampu memilih bagian cerita mana yang lebih penting untuk didetailkan dan dipanjangkan. Meski saya merasa pemotongan kisah masih bisa dilakukan sedikit lagi agar lebih padat.

Selain itu, Oka dengan lihai menyisipkan bagian-bagian kecil dari percakapan Aris-Rani-Nisa untuk jadi ‘Easter eggs’ badai rumah tangga di film ini. Mulai dari ucapan, kejadian-kejadian sepele, hingga bagaimana perselingkuhan itu terbongkar.

Saya merasa Oka berusaha membuat drama Aris-Rani-Nisa senatural mungkin, dengan menampilkan kisah skandal yang jadi hidangan utama ini juga dipicu dari hal-hal “receh” sejak awal. Asumsi saya itu pun terjawab dengan pesan moral pada babak akhir.

Dengan kata lain, Oka dan Eliza memang ingin berpesan bahwa berhati-hatilah dengan ucapan serta tindakan karena hari sial tak pernah tercetak dalam kalender.

Selain aspek penggodokan naskah yang terbilang cukup rapi dan matang, penampilan Deva Mahendra bagi saya adalah kunci utama yang membuat film ini berefek psikologis terutama kepada banyak penonton perempuan.

Deva memainkan sosok Aris dengan sangat baik, menampilkan suami yang sangat tidak tahu diri dengan merusak rumah tangganya sendiri. Meski saya rasa, karakter ‘luhur’ Aris sudah sejak awal mengerek bendera merah.

Meski begitu, penampilan Deva dalam Ipar Adalah Maut rasanya belum mengeluarkan seluruh kemampuan aktor itu. Namun melihat Deva menjadi Aris, setidaknya film Indonesia punya opsi alternatif peremuk perasaan penonton perempuan selain Fedi Nuril dan Reza Rahadian.

Film ini jelas jadi panggung Deva menunjukkan kemampuan aktingnya yang makin baik. Saya pun menantikan Deva untuk lebih mengeksplor dan menantang dirinya sendiri setelah film ini dan Kisah Tanah Jawa Pocong Gundul (2023).

Selain Deva, performa Davina Karamoy sebagai Rani juga mencuri perhatian saya. Bahkan saya merasa chemistry Aris dengan Rani lebih kuat dibanding Aris dengan Nisa (Michelle Ziudith), walaupun kemudian saya risih dengan kesan bahwa Aris memang demen mengincar mahasiswi.

Hal lain yang menghibur dari film ini adalah sinematografinya. Denmas Ipung sebagai DoP menyajikan visual yang estetik dan padu dengan efek visual yang dipimpin Alex Kurdi.

Hanung Bramantyo selaku sutradara yang dibantu oleh Yogi S Calam, Aditya Coyong, dan Poni Vandi Pratama, juga terlihat cukup baik dalam memadu seluruh bagian cerita serta produksi, sehingga film ini terlihat cukup efisien tanpa harus terasa monoton.

Ipar Adalah Maut juga membuat saya sadar bahwa Hanung Bramantyo is (truly) back, setelah saya terkesima dengan Tuhan, Izinkan Aku Berdosa. Saya cuma berharap, kualitas dalam dua film Hanung ini akan terus muncul dalam karya-karya sutradara itu selanjutnya.

Hanya sedikit catatan saya untuk film ini, yakni adalah pada bagian lagu latar. Bagi saya, penggunaan lagu latar dalam film ini justru terasa menurunkan kemewahan yang sudah ditampilkan secara visual.

Saya mungkin lebih memilih menggunakan lagu instrumental untuk membangun suasana. Karena lagu yang digunakan sebagai pengiring sejumlah adegan di film ini, terutama yang dramatis, membuat saya teringat akan video TikTok yang hilir mudik di FYP.

Terlepas dari itu, kisah-kisah perselingkuhan dan skandal rumah tangga pada saat ini sepertinya patut untuk dilihat serius oleh para produser, bukan cuma Manoj Punjabi lewat kapal MD Pictures. Apalagi, makin ke sini makin banyak banyak cerita perselingkuhan yang bocor atau dibocorkan ke media sosial.

Hal ini karena saya rasa industri film Indonesia mulai menunjukkan gelagat creative block dengan ikut-ikutan menggarap horor hanya demi cuan, dan ditandai dengan mulai bermunculan film horor yang ceritanya ‘ngadi-ngadi’.

Dengan tetap mengutamakan penggarapan naskah yang baik, saya rasa tema kehidupan rumah tangga bisa jadi topik menjanjikan seperti kisahnya yang sukses memikat ibu-ibu pencinta sinetron. Sehingga, industri film lokal tidak cuma bergantung pada horor, cerita cinta remaja, apapun-asal-religi, serta waralaba yang digarap berulang-ulang dan dicacah-cacah.

bandar togel online
slot gacor gampang menang
dana toto
situs toto
scatter hitam

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours