Jakarta Sebelum Pan, sebetulnya kita pernah disuguhi kisah asal mula dongeng Peter Pan. Judul filmnya Finding Neverland, rilis 2005 silam. Finding Neverland disutradarai Marc Foster dan dibintangi Johnny Depp sebagai J.M. Barrie, si pengarang cerita Peter Pan.
Syahdan, pada 1904 di London, kehidupan kreativitas J.M. Barrie tengah mengalami penurunan. Dramanya tak disukai penonton dan kritikus. Ia merasa terpojok oleh dirinya sendiri. Dia merasa memiliki banyak ide, tetapi tak tahu bagaimana menyusun serpihan-serpihan itu jadi sebuah karya.
Suatu hari, Barrie bertemu dengan seorang janda cantik bernama Sylvia Davies (diperankan Kate Winslet) dan keempat putranya—yang bungsu bernama Peter. Tiba-tiba, Barrie menemukan panggung: halaman belakang rumah Sylvia.
Dengan keempat anak-anak itu, dia ikut bermain sebagai indian melawan para koboi; berlompatan di atas tempat tidur atau main petak umpet di antara pepohonan. Pada saat anak-anak itu meloncat dan seolah berupaya ingin menggapai langit, maka lahirlah ide Barrie yang menjadi pembukaan dramanya yang terkemuka Peter Pan, kisah bocah yang tak pernah dewasa melawan bajak laut jahat di Neverland.
Begitulah sejatinya dongeng Peter Pan lahir.
Sejak pertama dipentaskan tahun1904, Peter Pan menjadi cerita kesayangan setiap anak di dunia, sebuah drama klasik yang menghidupkan imajinasi yang fantastis.
Banyak orang yang mengira dongeng Peter Pan sudah berusia ratusan tahun lebih dan berasal dari cerita rakyat di Eropa sana. Padahal, untuk ukuran sebuah dongeng yang melegenda ia masih tergolong muda, baru berusia seratusan tahun lebih.
Cerita Peter Pan kemudian tak hanya hidup di panggung teater. Ia juga dihidupkan ke dalam medium film. Tercatat berkali-kali cerita ini diangkat ke layar lebar. Pertama tahun 1924 dan yang paling anyar 2003 silam.
Di antara adaptasi dongeng Peter Pan paling terkenal tentu saja kartun buatan Disney yang rilis 1953. Sebagaimana kisah Cinderella, Putri Salju atau Putri Tidur, kartun Disney seolah jadi karya otoritatif cerita Peter Pan. Padahal sebagaimana film-film yang lain, Disney hanya menafsir ulang.
Well, mau bagaimana lagi, kita tak bisa menampik hegemoni Disney. Maka, setiap lahir adaptasi baru cerita Peter Pan, film Disney itu yang menjadi acuan. Kalaupun ada film lain yang kerap jadi acuan, judul itu adalah Hook (rilis 1991) karya Steven Spielberg.
Hook punya premis bagaimana bila Peter Pan tumbuh dewasa? Film ini menjadi terkenal karena nama besar Spielberg dan para pemainnya: Robin Williams sebagai Peter Pan dewasa, Julia Roberts sebagai Tinkerbell dan Dustin Hoffman sebagai Kapten Hook.
Ketika Hollywood tengah gandrung mengangkat cerita dongeng dari naskah aslinya, Peter Pan versi 2003 lahir. Sebetulnya, tak ada yang buruk dari proyek ambisius tersebut. Hanya saja filmnya harus menerima kenyataan ditakdirkan dibandingkan dengan versi kartun Disney maupun live action versi Spielberg. Dua lawan itu tak sebanding, yang klasik lawan karya kontemporer.
Maka, sungguh cerdik saat Warner Bros Pictures memilih sudut penceritaan lain dari dongeng Peter Pan. Yang dipilih bukan lagi dongeng yang kita sudah hapal ceritanya itu, melainkan membelokkannya pada prekuel alias kisah sebelum cerita di dongeng.
Penonton boleh saja membandingkan Pan ini dengan kartun Peter Pan tahun 1953 versi Disney maupun Hook versi Spielberg. Tapi, tiga film ini sebetulnya punya tiga cerita berbeda yang bila diurutkan (dari periodisasi cerita) kira-kira begini: Pan (2015), Peter Pan (1953) dan Hook (1991).
Sebagai kisah prekuel, pengarangnya (dalam hal ini penulis skenario Jason Fuchs) lebih bebas berkreasi. Karya rekaan JM Barrie sekadar jadi acuan.
Bagi saya, kisah asal mula Pan versi sutradara Joe Wright (Atonement) ini, justru mengingatkan pada dongeng Star Wars karya George Lucas dan The Matrix-nya Wachowski bersaudara.
Peter di Pan laksana Luke Skywalker di Star Wars ataupun Neo di The Matrix. Artinya, Peter adalah sosok “the one” manusia terpilih atau “satria piningit” yang diramalkan jadi Ratu Adil bagi sebuah masyarakat yang tengah menderita dizalimi kekuatan jahat.
Neo di The Matrix menjadi “The One” sebagaimana diramalkan; begitu pula Luke Skywalker (dan ayahnya, Anakin) “bring balance to the Force.”
Tengok saja, London di masa Perang Dunia II (ah iya, ini sebuah anakronisme cerdas Joe Wright: cerita Peter Pan lahir sebelum Perang Dunia I, tapi kisah prekuelnya berlatar Perang Dunia II) bisa kita umpakan planet Tattoine di Star Wars. Sebagaimana Luke Skywalker di Star Wars, Peter kemudian melakukan perjalanan dari London menuju petualangan dan menemui takdirnya sebagai satria piningit.
Kita juga bisa mengidentikkan karakter utama lain dari Star Wars dalam Pan ini. James Hook (diperankan Garrett Hedlund) yang kelak jadi Kapten Hook memiliki karakter yang mengingatkan kita pada Han Solo; Tiger Lily (Roone Mara) mirip Putri Leia; dan tentu saja si jahat Blackbeard mirip Darth Vader.
Lantas, apalah arti semua kemiripan tersebut dengan hikayat Star Wars tersebut?
Yang patut Anda ketahui dahulu, saat mencipta Star Wars, George Lucas meminjam kisahnya dari berbagai mitologi maupun dongeng atau novel klasik. Kisah pertempuran kebaikan melawan kejahatan diambilnya dari novel klasik The Lord of the Rings karya JRR Tolkien. Sedang tentang ramalan satria piningit diambilnya dari dongeng Raja Arthur dan pedang Excalibur-nya.
Artinya, kisah di Pan merupakan rangkaian panjang tradisi literatur di Barat sana. Yang sebetulnya inti ceritanya sama: kebaikan lawan kejahatan. Peter si Pan mewakili kebaikan, sedang Blackbeard mewakili kejahatan.
Sebagai tumpuan cerita beban terberat di Pan dipikul si pemeran Peter Pan dan tokoh antagonisnya Blackbeard. Yang saya maksud Levi Miller si pemeran Peter Pan dan Hugh Jackman si pemeran Blackbeard.
Miller berakting maksimal sebagai Pan. Ia merupakan mutiara dari film ini. Ia mampu menyuguhkan akting yang sepadan dengan orang-orang dewasa yang jadi lawan mainnya. Selepas Pan, karier bocah asal Australia ini dipastikan bakal cemerlang.
Sedangkan Hugh Jackman si Blackbeard bakal dibandingkan orang dengan Johnny Depp saat jadi bajak laut Jack Sparrow di franchise Pirates of the Caribbean. Hasilnya, dengan caranya sendiri, terutama lewat bakatnya sebagai actor di panggung teater broadway, Jackman membuat kita lupa sejenak ia pemeran Wolverine di franchise X-Men.
Film macam Pan, atau Les Miserables tempo hari, menjadi pembuktian akan bakat akting dan teater yang ia miliki. Lewat Pan, Hugh Jackman menunjukkan pada kita ia tak sekadar si mutan Wolverine. Tapi juga Blackbeard di bajak laut.
Yang kita nantikan kemudian hanya satu, kerja kerasnya sebagai Blackbeard di Pan lalu berujung filmnya jadi franchise seperti X-Men. Ya, bukankah cerita di Pan sangat terbuka untuk dilanjutkan berjilid-jilid lagi?** (Ade/Feb)
+ There are no comments
Add yours