Jakarta John Green menjadi nama yang hot di Hollywood. Ingin mengulang sukses The Fault in Our Stars, yang diadaptasi dari buku bestseller John Green, sutradara Jake Schreier pun mencoba keberuntungannya. Ia membesut film dari novel Green yang lain, Paper Towns.
Serunya lagi, Jake Schreier menggandeng pemain baru sebagai pemeran utama, namun tak asing di dunia hiburan Hollywood, yaitu Cara Delevingne yang berperan sebagai Margo Roth Spiegelman.
Sementara lawan mainnya, Nat Wolff yang berperan sebagai Quentin dengan apik menghidupkan karakter seorang pria yang tak ingin memiliki masalah dalam hidupnya.
Film ini bercerita tentang Margo, cewek petualang yang suka hal-hal misterius. Keingintahuannya begitu besar untuk menyelusuri sebuah peristiwa.
Kala kecil, Margo dan Quentin merupakan sahabat kental hingga satu hari mereka menemukan seorang pria tergeletak di pinggir kolam dalam kondisi tak bernyawa. Margo sangat penasaran, ia pun mengajak Quentin menemukan penyebabnya.
Sayang, keinginan Margo tak diiyakan oleh Quentin. Kemudian kita mendapati hubungan keduanya renggang. Margo dan Quentin seperti berpisah jalan. Dari balik jendela kamar, Quentin hanya bisa melihat kegembiraan Margo bersama teman-teman, dan kekasihnya.
Hingga suatu ketika, tiba-tiba sosok Margo muncul di jendela rumah Quentin. Mendadak ia mengajak Quentin berpetualang. Rupanya, Margo baru tahu pacarnya selingkuh dengan sahabatnya sendiri. Ia mengajak Quentin membalaskan dendamnya, mengerjai kekasih dan sahabatnya.
Tak lama kemudian, Margo pun menghilang. Quentin yang belum sempat menyatakan cintanya penasaran kemana Margo pergi. Ia bersama sahabat-sahabatnya pun mencarinya.
Saat nonton Paper Towns, kebanyakan orang ingin membandingkannya dengan The Fault in Our Stars. Memang sih, dua-duanya lahir dari tangan yang sama: John Green. Namun, Paper Towns berbeda dengan The Fault in Our Stars. Kisahnya tak berniat mengundang tangis penontonnya.
Jika The Fault in Our Stars punya tema tentang remaja yang tak menangisi hidup meski didera sakit mematikan, Paper Towns bergerak lebih jauh. Kisahnya mengajak orang mulai berpikir akan pilihan jalan hidup–bahkan sejak remaja saat hendak lulus SMA.
John Green menawarkan dua pilihan, hidup bebas atau terencana dan terikat. Bagusnya, ia tak berpihak. Pilihan kemudian diserahkan pada penikmat karyanya. Yang jelas, seperti pilihan judulnya, kota-kota kertas, ia mengajak pembacanya tak hidup dari kepalsuan dan rapuh seperti kertas.
Usai nonton Paper Towns bukan rasa terharu menikmati romantisisme remaja yang muncul. Melainkan semacam pemikiran mendalam dalam diri, sudahkan kita bahagia dengan pilihan jalan hidup saat ini? (Mer/Ade)
+ There are no comments
Add yours