Jakarta Anda mungkin masih kurang familiar dengan nama Blumhouse Productions. Namun, Anda mungkin familiar dengan judul-judul berikut: Paranornal Activity, Insidious dan Sinister. Ketiganya adalah film horor yang telah menjelma jadi franchise sukses. Dan ketiganya lahir dari rumah produksi Blumhouse Productions milik Jason Blum. Nah, yang teranyar adalah The Gallows yang kini tayang di bioskop.
Ciri khas rumah produksi ini adalah membuat film horor dengan bujet minim selayaknya sebuah film indie, lalu mengedarkannnya via distributor studio besar Hollywood.
Perusahaan film ini untung besar berkat Paranormal Activity yang rilis 2009 silam. Film yang bujetnya cuma USD 15 ribu itu diedarkan Paramount Pictures ke seluruh dunia dan meraup USD 193 juta. Insidious (2010) meraup USD 97 juta dengan bujet USD 1,5 juta, dan Sinister (2012) berhasil mengumpulkan USD 87 juta dengan modal USD 3 juta. Kini, Paranormal Activity sudah beranak pinak jadi lima film, Insidious jadi tiga, dan film kedua Sinister rilis Agustus nanti.
Formula yang sama tampak juga dengan The Gallows karya duet sutradara Travis Cluff dan Chris Lofing. Dari berbagai laporan, film ini disebut cukup dibuat dengan USD 100 ribu atau setara Rp 1,3 miliar. Hasilnya, setelah tiga hari rilis, sejak 12 Juli kemarin, filmnya sudah mengumpulkan USD 10 juta. Sudah termasuk untung, ‘kan?
Pertanyaannya, kenapa The Gallows bisa dibuat demikian murah meriah?
Tengok saja filmnya dan Anda bisa langsung tahu jawabannya. The Gallows bersetting sekolah. Alkisah, di sebuah sekolah bernama Beatrice High School terjadi kecelakaan mengenaskan tahun 1993. Drama “The Gallows” yang dimainkan murid SMA berakhir nahas saat seorang pelakonnya tewas terjerat tiang gantungan.
Cerita lalu meloncat ke masa 20 tahun kemudian. Di SMA yang sama, drama “The Gallows” kembali siap dipentaskan. Seorang murid cantik, Pfeifer (Pfeifer Brown) yang giat mengagasnya. Bintang tim football SMA, Reese (Reese Mishler) yang naksir Pfeifer juga ikutan main padahal ia tak punya bakat main drama.
Sahabat Reese, Ryan (Ryan Shoos) kemudian mengajaknya untuk melakukan sabotase, merusak set panggung di malam sebelum pertunjukan yang bakal bikin drama batal dipentaskan. Pacar Ryan, Cassidy (Cassidy Gifford) minta turut serta.
Saat Reese, Ryan, dan Cassidy merusak set panggung tiba-tiba muncul Pfeifer. Kejadian ganjil pun lalu terjadi. Semua pintu tiba-tiba terkunci. Mereka terkurung dalam sekolah. Sesosok makhluk menyeramkan dengan senjata tali tiang gantungan siap meneror mereka.
Cerita The Gallows sesederhana itu. Settingnya hanya sekolahan. Lalu hanya butuh empat pemain utama untuk memerankannya. Semuanya juga tak kita kenal.
Hal itu membuat film macam begini bisa dibuat dengan biaya nurah untuk ukuran Hollywood. Tambahan pula, konsep penceritaannya adalah “found footage“, penonton diberi suguhan hasil rekaman kamera yang seolah disorot oleh karakter di film. Cara ini terbukti efektif di franchise Paranormal Activity.
Oke, kita sekarang sudah paham gaya Blumhouse Productions meraup untung. Bagaimana dengan hasil akhirnya lewat The Gallows ini?
Seperti kebanyakan film horor produksi mereka, yang diandalkan The Gallows juga adegan-adegan yang bikin kaget. Konsep rekaman kamera yang dipegang salah satu tokoh membawa kita, penonton, pada kenyataan kita tak pernah tahu apa yang bakal terjadi. Di film horor, unsur kejutan ini jadi jualan utama.
Di The Gallows, meski tokohnya tampak cerewet menjelaskan plot cerita, kita masih berhasil dibuat kaget dan ketakutan. Untuk yang satu itu formula Blumhouse Productions dengan The Gallows-nya masih berhasil.
+ There are no comments
Add yours