Jakarta PERINGATAN: SPOILER ALERT! Ulasan ini memuat cerita Yakuza Apocalyse
Satu hal utama yang harus ditekankan saat menonton film ini, Yakuza Apocalypse adalah harap buang segala pengetahuan Anda tentang aspek-aspek dalam karya sinema seperti jenis dan genre, bahasa naratif, latar, mise-en-scene, konsep protagonis-antagonis, kostum bahkan aspek logika dalam film.
Peringatan dari saya, jika Anda memaksakan menonton film ini dengan pisau bedah yang biasa dipakai pengulas film, Anda dipastikan bakal kecewa. Yakuza Apocalypse bukan jenis film yang bisa ditelaah dengan metode konvensional, menubrukkan teori sinema dengan karya yang tersaji di layar. Takkan ketemu. Hasilnya malah jadi tabrakan. Film ini butuh pendekatan khusus.
Bagi kita di Indonesia, daya tarik utama film tentu saja nama dan sosok Yayan Ruhian di poster. Untuk negeri yang mengagungkan segala sesuatu dari mancanegara, melihat kiprah Yayan di negeri asing tentu bakal memancing daya pikat tersendiri. Namun, ya itu tadi, yang harus dicatat ini bukan jenis film mainstream.
Untuk memberi pemahaman atas film ini pun saya dengan sangat terpaksa membeberkan ceritanya. Film ini dimulai penuh darah muncrat di layar. Seorang pria paruh baya merangsek ke markas musuh. Tebasan dan tusukan pedang samurai tak kuasa menghentikan langkahnya. Begitu pula muntahan peluru. Bagai monster ia membunuh semua orang hari itu. Ia terluka, tapi tak bisa mati. Ia bagai monster.
Adegan awal itu membuat saya menduga filmnya sedikit meminjam kisah manga `Blade of Immortal`-nya Hiroaki Samura, tentang samurai yang tak kunjung binasa meski dibunuh berkali-kali. Tapi ternyata tidak. Ketidakmasuk-akalan `Blade of Immortal` tak ada apa-apanya dibanding `Yakuza Apocalypse`.
Kita kemudian tahu, pria paruh baya yang tak bisa mati itu adalah Genyo Kamiura (Lily Franky), pemimpin yakuza yang disegani di sebuah kawasan pinggiran Tokyo, sebuah distrik bergaya Showa 1970-an. Kamiura disegani penduduk setempat lantaran sebagai pemimpin yakuza, ia melindungi warga biasa di daerah kekuasaannya. Kamiura punya prinsip, tak mengganggu rakyat kecil yang bukan yakuza.
Kita juga lantas tahu, kenapa Kamiura tak binasa. Rupanya, ia seorang vampir. Ia hidup dari meminum darah orang-orang yang dirantai di lantai bawah sebuah kedai. Orang-orang itu kerjanya menenun dengan kaki dirantai. Sesekali mereka disiksa si pemilik kedai.
Syahdan, Kamiura punya pengawal setia, Akira Kageyama (Hayato Ichihara), seorang anggota yakuza yang kerap diledek lantaran kulitnya terlalu halus hingga ia tak kuat ditato. Yakuza tak bertato tentu jadi bahan olok-olok yakuza lain.
Cerita berkembang ketika Kamiura diincar musuh-musuhnya yang lain. Seorang pria berpakaian hitam ala pendeta Eropa abad ke-18 sambil menenteng peti mati di pundaknya serta seorang pria dengan dandanan otaku culun (diperankan Yayan Ruhian) mengincar Kamiura. Dalam duel sengit, kepala Kamiura tercerabut dari badannya. Kita mengira ia sudah tamat. Tapi tidak. Saat Kageyama berlutut memegang kepala bosnya, mata sang bos melotot lalu menghisap leher Kageyama. Tak lupa juga ia berpesan agar Kageyama membalaskan dendamnya.
Maka, berubahlah Kageyama menjadi vampir. Dalam perjalanannya, Kageyama tak bisa menahan diri menghisap darah orang biasa. Ini melanggar aturan. Vampir yakuza harusnya meminum darah orang jahat. Saat orang biasa dihisap darahnya oleh vampir seketika mereka tertular dan jadi vampir pula. Bukan vampir biasa, tapi vampir yakuza.
Chaos langsung terjadi di distrik itu. Anggota yakuza yang asli, yang belum tertular darah vampir, segera jadi buruan warga biasa yang berubah jadi vampir yakuza. Kageyama bersama warga distrik menyatakan perang pada para yakuza.
Cerita makin berwarna saat pendeta Eropa dan si otaku culun ternyata bagian dari kelompok penjahat yang anggota lainnya adalah sesosok Kappa (makhluk mitologi Jepang berbadan manusia tapi berparuh dan berpunuk kura-kura serta meruapkan bau tak sedap) dan sesosok makhluk berkostum monster berbulu lembut warna hijau mirip badut maskot yang begitu kostumnya dibuka, di dalamnya terdapat pria kekar berkepala kodok.
Kelompok penjahat ini yang kemudian menjadi musuh utama Kageyama. Kita melihatnya melakukan duel penghabisan dengan si monster berbulu dan otaku culun yang berubah wujud jadi samurai perkasa. Pada satu kesempatan, ketika si monster berbulu berhasil dikalahkan, ia memanggil monster berbulu lain yang tinggal di pegunungan Fuji (mungkin ayah atau ibunya). Yang ini monster berbulu raksasa dan bisa mengeluarkan semburan api dari mulutnya. Film pun berubah jadi aksi monster raksasa mengamuk di pedesaan.
Sampai di sini, penonton sudah harus menerima bahwa Yakuza Apocalypse bukan jenis film mainstream. Saat menontonnya, saya yang semula menganalisisnya dengan serius kemudian melepaskan setiap peralatan analisis yang biasa saya gunakan, dan membiarkan diri ini dibawa kemana oleh film ini. Berbagai adegan konyol, kocak, dan tak masuk tersaji dan pada gilirannya membuat kita tertawa terbahak-bahak (lelucon soal bunyi tetes air di kepala dan cairan otak muncrat dari lubang telinga sungguh lucu, omong-omong).
Saat menonton di acara pemutaran perdana tempo hari, saya nonton di sebelah seorang artis, Five Vi. Malam itu ia berpakaian mini nan seksi. Sepanjang film ia tertawa sambil berkata dalam bahasa Jawa, “Iki film opo?”
Ini film apa, sih? Ia bertanya. Saya jawab saja di sini. Ini bukan film yang mengagungkan Yayan Ruhian. Ini film karya Takashi Miike, sutradara nyeleneh dari negeri Sakura yang memang tenar menyuguhkan film dengan genre campur-aduk. Bagi penggemar berat Miike, Yakuza Apocalypse sebetulnya hanya menyuguhkan kekacauan. Masih kalah dibanding film-filmnya terdahulu. Namun bagi saya, yang masih awam dengan film-film Miike, Yakuza Apocalypse adalah sebuah perkenalan ke dunia absurd Miike. Film ini tetap menawarkan kesegaran dan tawa dengan bahak yang keras.
+ There are no comments
Add yours