Jakarta Ada momen unik usai nonton film ini, Alvin’s Harmonious World of Opposites di sesi khusus media dan undangan di bioskop Kineforum, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, belum lama ini. Di tengah diskusi antara penonton dan sineas, si pembuat film, Platon Theodoris malah mengajukan pertanyaan ke penonton.
Ia lalu bertanya yang kira-kira begini maksudnya, “Anda mengerti tidak kalau maksud adegan anu adalah anu?”
Saya celingukan, menanti apa jawaban yang muncul dari penonton. Ditanya langsung begitu oleh pembuat filmnya sendiri, para penonton pun tampak canggung. Mungkin tak enak hati bila harus berkata jujur. Koor jawaban paling banyak terdengar adalah “Tidak.”
“Ya sudah, nggak apa-apa,” kata sutradara yang pernah membuat videoklip Naif, Club Eighties dan The Brandals tersebut mendengar jawaban kami.
Kami semua kemudian tertawa. Sebab, walau simbol-simbolnya mungkin terasa sulit dipahami, film ini sebuah tontonan yang asik untuk diikuti. Platon sutradara berbakat yang mampu membikin film dengan rapi.
Menonton Alvin’s Harmonious World of Opposites (AHWO) semula saya hendak membandingkannya dengan Being John Malkovich (1999) dan Eternal Sunshine of the Spotless Mind (2004), dua film Hollywood yang skenarionya ditulis Charlie Kaufman.
Dua film Charlie Kaufman di atas sejatinya sebuah laku psikologis. Yang disuguhkannya adalah bayangan isi kepala manusia. Kaufman, lewat film-filmnya, berteori begini kira-kira apa yang terjadi di dalam kepala seseorang.
Namun ternyata, dua film Kaufman tersebut bukan padanan yang pas untuk membandingkan dengan AHWO milik Platon yang selama tiga hari ini, Jumat hingga Minggu (20-22 November 2015) diputar untuk publik di Kineforum.
Walau sama-sama bermain dengan gambaran isi kepala seseorang, film Platon terasa surealis dan realisme-magis. Hal itu yang membedakannya betul dengan film-film Kaufman yang meski berwujud tentang petualangan di isi kepala manusia, filmnya sebetulnya berpijak pada hal realis.
Maka, film yang tepat untuk membandingkannya menurut saya adalah Banyu Biru, film karya Teddy Soeriaatmadja yang rilis 2005 silam.
Saya ingat, bilang tak suka pada Banyu Biru, menganggapnya sebuah kecatatan lantaran sineasnya gagal menyampaikan pesan yang ingin diutarakannya pada penonton.
Bagi saya dahulu, Banyu Biru wujud kegagapan sineas kita yang masih belajar di tengah era kebangkitan lagi film nasional di awal 2000-an. Waktu itu banyak karya yang diniatkan jadi film yang kisahnya “larger than life”, namun sang sineas tampak kikuk mewujudkannya ke film.
Anda mungkin masih ingat, waktu itu Banyu Biru dipromosikan sebagai film surealis dengan pendekatan realisme-magis. Dua istilah itu akrab dengan ranah sastra dan seni lukis. Secara sederhana, surealisme dan realisme-magis tetaplah berpijak pada realisme atau kenyataan sehari-hari, namun yang membuatnya berbeda kenyataan sehari-hari tersebut terasa berbeda dari biasa. Sureal dan magis. Penuh keajaiban namun sebetulnya tetap berpijak pada realisme.
Di Banyu Biru kita melihat perjalanan tokoh kita, Banyu (Tora Sudiro) yang terasa sureal dan magis. Ia bertemu orang-orang unik dalam perjalanannya ke kampung halaman demi bertemu ayahnya.
Namun, segala petualangan surealis dan magis Banyu kemudian diruntuhkan sendiri oleh sineasnya kala kita, penonton, mendapati Banyu terbangun dari mimpinya. Rupanya, yang kita saksikan sepanjang film semata “petualangan” di alam mimpi tokohnya.
Kita lalu bergumam, “Pantas saja petualangannya ‘surealis’ dan ‘magis’, toh semuanya berlangsung di alam mimpi. Segala hal bisa terjadi dalam mimpi. Termasuk yang surealis dan magis.”
+ There are no comments
Add yours