Jakarta PERINGATAN: SPOILER ALERT! Ulasan ini mungkin dianggap mengandung bocoran cerita Bridge of Spies.
Sebetulnya, bagi Tom Hanks ketika muda, sejarah bukanlah mata pelajaran favorit. Meski bagian dari generasi Baby Boomer—ia lahir 1956—yakni mereka yang lahir pasca Amerika memenangkan Depresi Besar dan Perang Dunia II, sejarah kedigdayaan Amerika bukanlah yang membentuk dirinya ketika muda.
Ayahnya, Amos Hanks, ikut ambil bagian di Angkatan Laut (AL) dan terjun ke perang di wilayah Pasifik saat PD II sebagai teknisi mesin. Namun, Amos bukan tipe orangtua yang suka mencekoki anak dengan cerita kepahlawanan serdadu masa itu.
“Saya tahu ayah saya bergabung dengan AL di Pasifik waktu itu,” katanya dikutip majalah Time edisi 6 Maret 2010. “Tapi ia tak pernah mengatakan sesuatu yang baik tentang AL. Ia justru benci. Ia benci semua orang di AL. Dia tak punya cerita hebat tentang itu.”
Hanks lalu menyimpulkan bagaimana masa mudanya memandang sejarah. “Bagi saya, sejarah Amerika hanya sekadar mata pelajaran yang harus saya ambil (di sekolah).”
Tapi lihatlah ia sekarang. Di usia lewat paruh bayanya kini, 59 tahun, ia bukan lagi Tom yang dulu memanjakan kita dengan komedi romantis era 1980-an dan 1990-an lewat When Harry Met Sally, Sleepless in Seattle atau juga You’ve Got Mail. Ia juga bukan sekadar aktor watak yang (ia mengoleksi dua piala Oscar Aktor Terbaik) lewat akting gemilangnya di Philadelphia, Forrest Gump ataupun Cast Away.
Lebih dari itu semua, Tom Hanks disebut Douglas Brinkley, seorang profesor sejarah yang membuat profilnya di majalah Time sebagai “America’s Historian in Chief” yang terjemahan bebasnya kira-kira “Presidennya Sejarah Amerika”.
Saat ini ia “guru sejarah” terbaik dari Hollywood. Dari tangannya, lahir penceritaan kembali narasi sejarah Amerika ke ranah budaya pop via film maupun mini seri TV. Tangan dinginnya ikut membidani dan terlibat proyek-proyek Saving Private Ryan (Perang Dunia II), Band of Brothers (Perang Dunia II), From the Earth to the Moon (sejarah NASA dan manusia ke Bulan), The Pacific (Perang Dunia II) hingga Charlie Wilson’s War (perang Afghanistan tahun 1980-an).
Minatnya pada sejarah mempertemukan Hanks dengan Steven Spielberg, sutradara nomor wahid Hollywood. Meski dikenal sebagai sineas yang gemar bermain-main dengan efek khusus, Spielberg juga sejarawan handal lewat film-filmnya. Selain membuat E.T.: Extra Terrestrial atau Jurassic Park, ia juga membuat film-film berlatar sejarah seperti Empire of the Sun (masa penjajahan Jepang di Tiongkok saat Perang Dunia II), Schindler’s List (Holocaust masa Nazi saat PD II), Amistad (perbudakan kulit hitam di masa awal Amerika berdiri).
Dua film terakhir Spielberg dibuat saat Hollywood gandrung dengan kepahlawanan superhero. Alih-alih larut membuat film superhero, ia mengangkat kepahlawanan dari seekor kuda di masa Perang Dunia I (War Horse) dan presiden AS anti perbudakan (Lincoln).
Kita tahu Tom Hanks dan Steven Spielberg pertama bekerjasama di Saving Private Ryan, film rilisan 1998. Hanks jadi aktor utamanya, Spielberg di kursi sutradara. Dari situ keduanya berkolaborasi lagi di mini seri Band of Brothers, drama-komedi kejar-kejaran ala kucing dengan tikus antara penjahat dan penegak hukum di Catch Me if You can (2002) serta kisah pria yang terjebak di bandara dan tak punya kewarganegaraan di The Terminal (2004).
Kali ini, lewat Bridge of Spies, mereka kembali dipertemukan. Hanks menjadi aktor utamanya, Spielberg di kursi sutradara dari kisah yang diangkat dari cerita nyata. Keduanya sekali lagi jadi “guru sejarah” bagi kita, penonton masa kini.
Lewat film ini mereka menyuguhkan sepotong sisi kehidupan di masa Perang Dingin, terutama di akhir 1950-an hingga awal 1960-an. Meski ada kata “dingin” sebelum kata “perang”, di tahun-tahun itu boleh disebut puncak terpanas masa Perang Dingin.
Kita tahu Perang Dingin bermula dari Amerika dan Uni Soviet sebagai pemenang Perang Dunia II berebut pengaruh di dunia. Dua negara adidaya ini berbeda ideologi, Amerika menganut kapitalisme, sedang Soviet mengagungkan komunisme. Bumi lalu dibagi dua, pengaruh AS di blok barat sedang Soviet di blok timur.
Di Amerika tahun 1950-an, kebencian pada komunisme menemukan puncaknya. Gerakan yang digagas Senator Joseph McCarthy memberangus penganut paham komunisme di AS jadi gerakan membabi buta.
Di tahun-tahun itu pula, kegiatan mata-mata kedua negara terasa intens. Di masa Perang Dingin kebanyakan ketegangan perang berlangsung antara mata-mata dan agen rahasia kedua belah pihak.
Dalam konteks geopolitik di atas Bridge of Spies kita pahami terlebih dahulu. Film ini dibuka dengan adegan yang mensimbolkan kehidupan seorang mata-mata: kita melihat si tokoh, Rudolf Abel (Mark Rylance) mematut diri di cermin sambil melukis potret diri. Adegan itu seakan menggambarkan keehidupan ganda seorang mata-mata, sehari-hari jadi pelukis, namun sebetulnya pembocor rahasia negara bagi pihak lawan.
Syahdan, Abel lalu ditangkap FBI dengan tuduhan sebagai mata-mata Soviet. Dari situlah tokoh yang diperankan Tom Hanks, James B. Donovan muncul di layar. Donovan aslinya pengacara spesialis perkara asuransi di New York. Sudah lama ia tak menangani kasus kriminal. Namun, ia pernah ikut menangani kasus pengadilan perang tentara Nazi di Nuremberg. Maka, asosiasi pengacara menganggapnya cocok jadi pembela si mata-mata Soviet di persidangan.
Awalnya, persidangan bagi Rudolf Abel hendak dijadikan ajang pencitraan belaka. Amerika ingin menunjukkan pada Soviet, mereka bangsa beradab yang setiap individu mendapat kesempatan sama di muka hukum, termasuk mata-mata musuh. Orang Amerika pada dasarnya ingin kasusnya berlangsung cepat dan si mata-mata lekas dihukum gantung.
Tapi rupanya Donovan memberi pembelaan serius. Ia bekerja maksimal sebagai pengacara. Kasusnya bahkan ia bawa sampai tingkat banding ke Mahkamah Agung. Abel lolos dari maut. Namun ujungnya Donovan dianggap pembela musuh. Keluarganya diteror. Ia pun jadi sosok yang dibenci dan dijauhi rekan sesama pengacara.
Belakangan kita tahu, niatan Donovan tak ingin Abel dihukum mati untuk dipertukarkan bila ada warga Amerika yang bernasib sama dengan si mata-mata, tertangkap di wilayah musuh.
Akhirnya hal yang ditakutkan terjadi juga. Seorang pilot militer jatuh dan ditangkap Soviet. Lalu, seorang lagi warga AS ditangkap di Jerman Timur saat Tembok Berlin baru dibangun.
Babak kedua film kemudian menceritakan upaya negosiasi Donovan pada pihak Soviet dan Jerman Timur untuk mempertukarkan Abel dengan dua warga AS yang bernasib sial di wilayah musuh. Pertukaran berlangsung di jembatan Glienicke, di atas sungai Havel, Jerman. Di masa Perang Dingin, jembatan ini dijuluki “bridge of spies” atau jembatan para mata-mata lantaran seringnya agen mata-mata yang tertangkap dipertukarkan kedua pihak di jembatan tersebut.
Bridge of Spies sejatinya film yang terasa kecil bagi nama besar Tom Hanks dan Steven Spielberg. Filmnya tak melakukan pendekatan melodramatis yang mengaduk emosi kita. Sosok James B. Donovan sebagai pembela pihak lawan bukanlah tipe pria macam Oscar Schindler, pengusaha Jerman pendukung Nazi namun jadi penyelamat sejumlah orang Yahudi di Schindler’s List.
Meski punya idealisme yang agung, pendekatan Spielberg atas sosok ini justru santai dan komikal. Di sini kemudian Bridge of Spies terasa lain dari film-film sejarah bikinannya. Saya merasa polesan Ethan dan Joel Coen di skenario Matt Charman yang bikin filmnya bukan jadi drama serius, melainkan terasa komedinya. Di sepanjang film yang seharusnya serius ini nyatanya kita sesekalli dibuat terbahak dan tersenyum.
Meski demikian, di luar pendekatannya yang komikal, Bridge of Spies tetaplah sebuah film yang mengagungkan nilai-nilai Amerika. Pahlawan sebenarnya film ini, ya nilai-nilai Amerika itu. Di balik kebersahajaannya, film ini mengagungkan Amerika sebagai bangsa.
Ada dua adegan yang jadi contoh jelas sebagai penyampai pesan itu. Yakni saat Donovan naik kereta dari Jerman Barat ke Jerman Timur melewati Tembok Berlin ia melihat orang-orang yang berusaha melompat tembok ditembaki membabi buta. Di kali lain, saat naik kereta di Amerika, dari jendela ia melihat anak-anak kecil bermain melompati pagar dengan bebas.
Well, lewat Bridge of Spies, Tom Hanks dan Steven Spielberg sekali lagi telah menunjukkan pada kita bahwa mereka “guru sejarah” Amerika yang baik. Tinggal kita menerima versi sejarah tersebut apa adanya atau dengan catatan kritis.
+ There are no comments
Add yours