The Walk, Sebuah Puisi untuk Si Menara Kembar

The Walk, Sebuah Puisi untuk Si Menara Kembar

—Minoru Yamasaki, kepala arsitek World Trade Center, saat menara kembar dibangun awal 1970-an—

Kita semua sudah tahu menara kembar World Trade Center (WTC) yang menjulang tinggi di langit Manhattan, pusat kota New York telah sirna. Teroris meruntuhkannya pada 11 September 2001.

Kenapa menara WTC yang menjadi sasaran serangan teroris?

Nancy Gibbs saat menulis cerita sampul di majalah Time tentang serangan 11 September 2001 menuliskan jawabannya:

“Jika ingin meruntuhkan sebuah negeri, masuk akal bila sasaran tembaknya adalah bangunan yang menjadi simbol kebanggaan negeri tersebut. Yakni bangunan yang menjadi simbol kepercayaan mereka, dan saat bangunan itu runtuh dan terbakar hal itu menjadi peringatan bahwa mereka tak lagi aman…”

Sebelum diruntuhkan dua pesawat jet komersil menara kembar WTC memang telah menjadi simbol banyak hal. Pembuatnya mengandaikan menara itu simbol perdamaian dunia, tempat para warga berinteraksi dalam sebuah pasar, pertemuan penjual-pembeli, dengan damai.

Namun, tentu saja, ia juga simbol bagi kedigdayaan Amerika Serikat sebagai negara super power dunia. Dibangun saat Perang Dingin melawan Blok Timur Uni Soviet, gedung WTC menjadi ikon kapitalisme di Barat, sebagai lawan komunisme di Blok Timur.

Majalah Life edisi khusus peringatan Tragedi 11 September 2001 yang terbit tak lama setelah kejadian tersebut menulis, “Ketika Perang Dunia II berakhir, tak banyak waktu untuk merayakan kemenangan maupun untuk mengobati lukanya, sebab tantangan baru langsung menghadang. Yakni Perang Dingin, dan kebebasan serta kapitalisme Amerika terancam oleh komunisme yang membentang di Moskow dan Beijing.”

Setelah PD II usai pembicaraan membangun simbol bagi kedigdayaan kapitalisme Amerika mulai mewacana. Di penghujung 1950-an dinas Port Authority of New York dan pemda New Jersey tertarik membangun gedung semacam itu, dan setelah kegaduhan politisi yang pro maupun kontra, kontruksi gedungnya mulai dibangun pada 1966.

Setelah rampung dibangun pada 1973, menara kembar yang tinggi menjulang hingga 417 meter tersebut (menjadi yang tertinggi di dunia di masanya), kemudian tak sekadar jadi kumpulan ruang-ruang kantor perusahaan. Sebagai sebuah simbol atau perlambang, menara WTC melampaui fungsi sebenarnya.

Ketika dibangun tidak semua orang menyukai gedung kembar nan tinggi itu. Sebagian menyebut desain gedung itu kaku. Sebagian lagi bilang tak punya nilai artistik. Di film The Walk ini, misalnya, kita mendengar gedung WTC disebut mirip lemari kotak.

Dibandingkan dengan Chrysler Building (selesai dibangun 1930) ataupun Empire State Building (yang selesai dibangun 1931), menara kembar WTC memang kalah indah. Bentuknya yang seperti kotak kardus lurus panjang begitu sederhana. Perancangnya, Minoru Yamasaki dikenal sebagai arsitek yang mengawinkan daya tarik dan fungsionalitas.

Saat gedungnya sudah berdiri, menara WTC yang berdiri bagai dua raksasa kembar di pusat kota New York kemudian menarik perhatian banyak orang. Dicatat majalah Life, Frank Sinatra dan Liza Minelli pernah tampil di klub malam di gedung tersebut; bintang rock seperti John Lennon dan Mick Jagger juga pernah mengunjungi gedung itu—memberi semacam “restu” bagi gedung itu.

Gedung kembar itu lalu juga menjadi wahana atraksi kota New York. Fakta-fakta trivia seputar gedung WTC pun lalu jadi fakta unik yang menarik perhatian. Tahukah Anda berat dua gedung itu totalnya 1,5 juta ton? Saluran penghangat udaranya sepanjang 318,6 kilometer? Lampu pijarnya sebanyak 23 ribu, luas bangunannya 929 ribu meter persegi, memiliki 43.600 jendela serta 194 lift? Tahukah Anda kecepatan lift ekspresnya 29 kilometer per jam dan mampu mencapai lantai 110 hanya dalam 4,8 menit?

Saat Hollywood membuat ulang King Kong tahun 1976, gedung Empire State Building digantikan gedung WTC.

Saat itu WTC resmi sudah sebagai simbol kapitalisme Barat. Ia dikagumi sekaligus dibenci. Yang membencinya berusaha meruntuhkannya. Pada 23 Februari 1993, enam orang tewas dan seribuan lainnya terluka saat bom yang ditanam teroris di tempat parkir gedung diledakkan. Tujuannya meruntuhkan si gedung kembar. Enam tersangka teroris yang meledakkannya kemudian dihukum seumur hidup. Upaya meruntuhkannya baru berhasil delapan tahun kemudian.

Sedangkan bagi pengagumnya, menara kembar WTC diibaratkan sebuah gunung yang harus ditaklukkan.

Film The Walk yang disutradarai Robert Zemeckis (Forrest Gump) ini mengangkat kisah nyata upaya menaklukkan menara kembar WTC. Caranya dengan memasang tali kawat lurus dari puncak gedung selatan ke gedung utara, lalu berjalan di atasnya. Aksi ala sirkus ini dilakukan pria berkebangsaan Prancis bernama Philippe Petit (di film dimainkan Joseph Gordon-Levitt).

Aksi Philippe dilakukan pada 1974. Setahun setelahnya seorang terjun dengan parasut dari puncak gedung, selang dua tahun kemudian seorang pendaki tebing menaiki gedung sebelah selatan layaknya panjat tebing.

Menonton The Walk–terutama di bioskop IMAX dengan kacamata 3Dsusah untuk tidak turut kagum pada keindahan menara kembar WTC. Meski desainnya sederhana, namun dalam kesederhanannya si menara kembar menawarkan keindahan tersendiri. Tingginya yang meraksasa hingga ke langit seperti mengerdilkan kita, manusia, yang berada di bawahnya.

Zemeckis piawai memainkan mata kamera memperlihatkan menara kembar WTC dari puncak tertingginya. Kameranya bisa menukik tajam ke bawah. Kali lain kamera bergerak cepat dari bawah ke atas. Dan hasilnya, sebuah sensasi yang menggetarkan.

The Walk laksana sebuah puisi indah yang didedikasikan bagi sebuah gedung indah yang pernah dibuat manusia.

Bagi saya, bintang film ini bukan Cuma Joseph Gordon-Levitt yang telah berupaya berakting dengan baik sebagai pria Prancis, namun juga, terutamanya, si menara kembar WTC.

Saya awalnya sedikit terkejut The Walk sama sekali tak menyinggung tragedi serangan 11 September 2001 yang meruntuhkan gedung WTC. Tapi, setelah saya pikir kembali, bukankah kita semua sudah tahu nasib gedung itu kemudian?

Menonton The Walk, kita seakan dibuat sadar betapa rasa benci dapat menghancurkan sebuah puncak pencapaian peradaban kita sebagai manusia. Film ini mengingatkan agar simbol-simbol peradaban kita wajib kita jaga bersama. Jangan sampai sesat pikir dan rasa benci malah menghancurkan pencapaian kita sendiri.

Keyword Terkait:

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours