REVIEW Goosebumps, Nostalgia 1990-an dengan R.L. Stine

REVIEW Goosebumps, Nostalgia 1990-an dengan R.L. Stine

Jakarta Meski gila baca, penulis tak membaca novel serial Goosebumps pada akhir 1990-an, saat novelnya booming. Tapi ada beberapa teman yang tergila-gila dengan serial itu.

Sebelum membuat ulasan ini, penulis sempat berpikir keras, kenapa dulunya tak memilih untuk membaca novel-novel Goosebumps, padahal teman di masa SMA dahulu bakal dengan tangan terbuka meminjamkan buku-bukunya.

Dan jawabannya adalah kombinasi rasa takut yang konyol dan kesombongan: konyol karena penulis merasa tak ingin ditakut-takuti oleh bacaan; sombong lantaran dulu menganggap horor sebagai karya rendahan. Waktu di ujung SMA dahulu, penulis mulai berkenalan dengan karya bernilai sastra. Picik betul, ya, pikiran penulis terdahulu?

Kalau dipikir lagi, sekarang ada sedikit rasa menyesal karena ranah bacaan penulis tak mencakup Goosebumps. Sebab, saat bertemu dengan orang-orang yang masa remajanya tumbuh dengan Goosebumps, penulis tak bisa berbincang dengan maksimal pada mereka. Mendengar mereka membicarakan Goosebumps, penulis hanya bisa mengira-ngira seri novel itu pasti seru sekali.

Kesempatan mencicipi serunya cerita di novel-novel Goosebumps (62 dengan judul asli dan lainnya berupa spin-off yang ditotal hingga kini berjumlah 182 judul buku) akhirnya kesampaian sekarang. Bukan lewat novel-novelnya, tapi lewat adaptasi filmnya yang kini diputar di bioskop.

Sebelum diangkat ke layar lebar, sebetulnya Goosebumps pernah diangkat jadi serial TV. Seorang kawan mengingatkan, serialnya pernah diputar di TV sini (ini penyesalan penulis lagi: tak mengikuti serial TV-nya saat tayang dahulu).

Yang menjadi pertanyaan ketika hendak menonton Goosebumps adalah, kenapa butuh dua puluh tahun lebih untuk mengangkat cerita tersebut ke layar lebar?

Jawabannya didapatkan lewat membaca artikel tentang novel Goosebumps dan pengarangnya, R.L. Stine di majalah Time teranyar edisi 19 Oktober 2015.

“Kontrak untuk memfilmkan novelnya sudah dibuat sejak 20 tahun lalu,” bilang Stine kepada Time.

“Dua puluh tahun lalu, Tim Burton disebut bakal memproduserinya, tapi tak seorangpun bisa menghasilkan naskah yang disukai semua pihak. Sebab semua berpikir, ‘Buku mana yang mau difilmkan dahulu?’ Hingga suatu hari seseorang punya ide dan bilang, ‘Yah, kita buat saja semuanya. Kita pakai semua hantu dan monster, serta jadikan R.L. Stine sebagai tokoh utamanya, dan buat dia khawatir lantaran semua makhluk ciptaannya kabur,” urai Stine.

Dan demikianlah kisah versi filmnya.

Film Goosebumps

Syahdan, seorang remaja pria bernama Zach (diperankan Dylan Minnette) pindah bersama ibunya (Amy Ryann) ke sebuah kota kecil dari New York. Si remaja belum lama kehilangan ayahnya. Keluarga ini masih berkubang akan duka tersebut.

Di kota kecil tempat tinggal barunya, rupanya ia bertetangga dengan seorang gadis, Hannah (Odeya Rush) yang punya ayah galak (Jack Black).

Tetangga ini rupanya menyimpan misteri tersendiri. Misterinya, ia sebetulnya R.L. Stine, penulis buku serial horor Goosebumps yang sukses. Kendati begitu, ia harus mengunci manuskrip naskah-naskah novel horornya atau monster-monster maupun hantu di naskahnya bakal keluar dan membuat kekacauan.

Rasa ingin tahu Zach lalu membuat sebuah buku terlepas dari kuncinya. Dari sini petualangan bermula. Berikutnya monster-monster lain dari buku R.L. Stine pun keluar dan berkeliaran.

Sampai di sini, terasa betul nostalgia dekade 1990-an pada filmnya. Bukan saja pembaca setia Goosebumps dibuat mengenang kembali dengan bertemu monster-monster macam boneka Slappy, zombie, serangga raksasa, pasukan boneka kurcaci, hingga alien bersenjatakan pistol pembeku.

Lebih dari itu—terutama bagi mereka yang tak membaca novelnya di tahun-tahun saat booming—nostalgia yang terbawa adalah betapa filmnya mengingatkan kita lagi pada kesederhanaan film-film monster dan petualangan era akhir 1980-an dan awal 1990-an. Nuansa saat pertama menonton GremlinsJumanji atau versi film Casper terasa sekali saat nonton Goosebumps ini.

Sutradara Rob Letterman tak berpretensi menyajikan konflik yang kompleks. Ia hanya ingin mengajak kita bersenang-senang, bertualang sambil menyuguhkan tribute bagi salah satu franchise novel horor paling dikenal sepanjang masa.

Tak lupa, ia juga menyajikan humor seputar R.L. Stine (tentang buku-bukunya yang sudah laku 400 juta kopi di seluruh dunia, namun namanya masih dianggap pengikut Stephen King) plus cameo sang pengarang asli di ujung film.

Pertanyaan yang muncul usai menonton Goosebumps versi film, mungkin seperti yang diajukan seorang kawan saat nonton film ini bareng penulis: “Memangnya, R.L. Stine aslinya seperti karakter yang dimainkan Jack Black, ya?”

Bagi penulis, di sini versi film Goosebumps unggul. Banyak pembaca novelnya di tahun 1990-an hanya tahu sedikit tentang sang pengarang. Beda dengan J.K. Rowling, si pengarang Harry Potter, yang sisi personalitasnya terungkap di mana-mana selayaknya selebriti.

R.L. Stine, masih sehat walafiat di usia 72 tahun kini, muncul di era pengarang dikenal akan karyanya. Makanya, ia bisa jadi tokoh fiktif di film tentang novelnya sendiri tanpa pembacanya merasa dibohongi.

Film Goosebumps pertama ini bahkan membuka kemungkinan jadi sebuah franchise baru. Jika itu terjadi, R.L. Stine versi tokoh di film bakal beralih rupa seperti tokoh fiktif betulan macam Indiana Jones atau bahkan Sherlock Holmes.

situs toto macau

slot thailand demo

situs slot viral

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours