“Duet Hadrah Daeng Ratu (sutradara) dan Lele Laila (penulis naskah) melahirkan horor berkualitas” bukanlah pernyataan yang rutin terdengar, dan mungkin bakal diragukan kebenarannya oleh beberapa orang. Pemandi Jenazah memang kejutan besar pertama tahun ini. Horor yang meneror bukan semata menggunakan hantu-hantuan, tapi juga konsep kematian.
Sebagai puteri Bu Siti (Djenar Maesa Ayu) selaku satu-satunya pemandi jenazah di desanya, Lela (Aghniny Haque) diharapkan bakal mengikuti jejak sang ibu. Tapi Lela enggan. Dia ingin seperti Arif (Ibrahim Risyad), adik laki-lakinya yang bebas menentukan jalan hidup.
Bu Siti bukan pemandi jenazah biasa. Dia bisa mengetahui bila ajal seseorang telah dekat, dan akting kuat Djenar membantu filmnya mendatangkan suasana mencekam dari kekuatan tersebut. Sang aktris sanggup menyalurkan rasa takutnya kepada penonton, lalu membuat kita percaya bahwa kemampuan itu, yang memaksanya terus menatap wajah kematian, lebih terasa seperti kutukan daripada anugerah.
Lalu terjadilah tragedi. Secara tiba-tiba, Bu Siti meninggal dalam kondisi bersimbah darah, tidak lama selepas kematian teman dekatnya, Bu Ida (Riafinola Ifani Sari). Lela yang masih terguncang mau tidak mau harus memandikan jenazah ibunya, dan dari situlah muncul pemandangan tak terduga.
Melalui kombinasi penulisan kalimat di naskah Lele Laila dan pengarahan dramatik Hadrah yang sama-sama membawa sensitivitas, Pemandi Jenazah menghadirkan pemandangan menyentuh. Bagaimana Lela menangis sembari menutup mata Bu Siti, kemudian meminta sang ibu untuk ikhlas supaya ia dapat memandikan jenazahnya, memunculkan interaksi heartbreaking yang masih berpusat pada pergulatan karakter dengan konsep kematian.
Sewaktu memandikan itulah, muncul kecurigaan di hati Lela bahwa ada yang tidak beres dalam kematian ibunya. Lela yakin ibunya jadi korban santet, yang kemungkinan juga bakal menimpa tiga sahabat Bu Siti yang masih tersisa: Bu Ana (Vonny Anggraini), Bu Terry (Ruth Marini), dan Bu Tuti (Mian Tiara).
Alur Pemandi Jenazah kemudian berpusat pada kematian yang datang silih berganti. Cenderung repetitif serupa mayoritas naskah horor milik Lele, tapi bagaimana sedari awal naskahnya secara tersirat telah menebar petunjuk mengenai dalang serangkaian kematian tersebut patut diapresiasi.
Pun repetisi itu menjadi tak seberapa berpengaruh saat rangkaian terornya dieksekusi dengan solid. Pengarahan Hadrah berkembang pesat, dengan tidak lagi asal mengumbar wajah hantu, namun semakin jauh bermain-main dengan aspek teknis serta estetika (paling kentara di adegan kematian berlatar kamar mandi). Kebanyakan jumpscare-nya hadir dengan ketepatan timing, beberapa imageries terlihat creepy, tapi pencapaian terbaiknya ada pada “adegan mengintip”.
Pemandi Jenazah memang masih meninggalkan berbagai kelemahan. Apalagi seiring berjalannya waktu, filmnya mulai kehabisan bahan bakar. Beberapa adegan yang sejatinya tak perlu semakin banyak dipaksakan masuk (kesurupan massal di babak ketiga misalnya), pun babak akhirnya terkesan antiklimaks, lengkap dengan konklusi dengan eksekusi canggung yang seolah membawa sang sutradara dan penulis kembali ke setelan pabrik.
Tapi setumpuk poin negatif di atas rasanya sudah dibayar lunas oleh “adegan mengintip” tadi. Hadrah yang biasanya terlalu bergantung pada jumpscare berisik mendadak beralih pada kesunyian yang menghasilkan pemandangan langka di horor kita: adegan yang benar-benar menyeramkan.
Related Keyword:
+ There are no comments
Add yours