Jakarta SPOILER ALERT: PERINGATAN! Esai film tentang Battle of Surabaya ini membincangkan inti cerita dan momen kunci filmnya. Waspadai bocoran cerita di tulisan ini.
Pada 22 Agustus lalu pengelola akun fanpage Facebook film Battle of Surabaya menuliskan status begini, “Fakta Pertaruhan harga diri bangsa antar negara: INSIDE OUT (Amerika) VS BATTLE OF SURABAYA (Indonesia), hanya bisa dimenangkan kalau penonton Indonesia mendukungnya dengan menonton di bioskop. Menurut kakak….?”
Di bioskop, Battle of Surabaya memang harus berhadap-hadapan dengan film animasi buatan Pixar milik Disney, Inside Out.
Namun, menjadi hal yang menarik untuk kita diskusikan bersama bahwa yang dipertaruhkan di bioskop saat ini adalah “harga diri bangsa” dan dengan demikian, bila memilih menonton Inside Out kemudian dicap tak nasionalis.
Menyebut harga diri bangsa dipertaruhkan oleh pertarungan Battle of Surabaya versus Inside Out tentu saja berlebihan. “Lebay”, jika menggunakan istilah masa kini.
Tapi, sejak dulu nasionalisme memang selalu jadi bahan jualan yang jitu. Hal ini tampaknya yang ingin dikedepankan sang pemilik film Battle of Surabaya. Harapan mereka, jiwa nasionalisme dan patriotisme masyarakat bakal terlecut dan memilih menonton film buatan anak bangsa sendiri ketimbang bikinan Hollywood.
Lantas, apa jualan nasionalisme ini laku?
Biar angka yang bicara.
Dari data yang dimiliki pengamat perfilman Yan Widjaya, sampai Minggu (23/8/2015) kemarin, Battle of Surabaya (rilis sejak 20 Agustus) baru mengumpulkan 31 ribu penonton. Data laman filmindonesia.or.id per Senin (24/8/2015), naik sedikit jadi 37.393 penonton.
Battle of Surabaya jauh tertinggal oleh Magic Hour (386 ribu penonton) dan, apalagi Surga yang Tak Dirindukan (1,5 juta penonton).
Sedikit menyinggung film dan nasionalisme, kita memang dengan mudah menyebut apa yang dimaksud film Hollywood, film Bollywood, film Hong Kong atau semacamnya. Namun sejatinya, batas-batas teritorial dari sebuah film tak signifikan betul. Dengan sistem ekonomi terbuka dan kapitalistik yang berlaku di hampir seluruh permukaan bumi saat ini, film bisa melampaui batas-batas teritorialnya.
Sebagai komoditas selayaknya barang dan jasa, yang berlaku kemudian pada film adalah hukum ekonomi, yakni hukum supply dan demand. Saat permintaan pada film negara tertentu tinggi, maka produsen akan membanjiri pasar dengan produk film negara tersebut. Dan kerap kali film bikinan Hollywood yang lebih disukai pasar.
Dari sini negara yang kebanjiran film Hollywood biasanya melakukan proteksi. Tiongkok membuat aturan membatasi jumlah film Hollywood yang edar. Pemerintah kita tak lakukan itu. Maka, yang satu-satunya bisa dilakukan ya dengan melecut rasa nasionalisme penonton film.
Karena sifatnya hanya himbauan, penonton tetap memiliki kemerdekaan atas pilihan tontonannya.
Jualan Nasionalisme atau Universalisme?
Jualan nasionalisme ala Battle of Surabaya juga terdeteksi dari kabar yang menyebutkan filmnya sempat dilirik Disney. Kabar ini dihembuskan si empunya film dengan tujuan, tentu saja, menunjukkan kalau mereka sudah go international.
Berkiprah di dunia internasional diyakini bakal menyulut rasa bangga kita sebagai bangsa. Logika yang juga dipakai dari kabar itu juga adalah, “Disney saja melirik, masak Anda yang satu negara dengan pembuat filmnya ogah nonton.”
Pertanyaannya kemudian, apa isi filmnya memang bertujuan membakar rasa nasionalisme yang menonton?
Hm, di sini masalahnya. Film ini punya judul dan tagline bahasa Inggris: Battle of Surabaya, there is no glory in war. Saya tak tahu kenapa sineasnya tak memilih judul “Pertempuran Surabaya” dan tagline “Tak ada pemenang dalam perang.” Mungkin lantaran rasa internasional juga yang ingin dikejar film ini. Judul dan tagline bahasa Inggris terasa lebih “bunyi” bagi masyarakat internasional.
Lalu tengok pula gaya animasi yang dipilih film karya Aryanto Yuniawan ini. Kok, terasa sekali pengaruh anime alias kartun Jepang, ya? Kenapa tak memilih gaya gambar asli Indonesia?
Untuk soal yang terakhir ini saya mencoba maklum. Lantaran sedikit sekali film animasi panjang yang dihasilkan bangsa ini, hingga kini kita masih belum mendefenisikan apa yang dimaksud “gaya animasi Indonesia” sebagaimana Amerika atau Jepang dengan ciri khasnya masing-masing.
Pilihan berkiblat pada anime saya maklumi lantaran generasi sekarang memang lebih akrab dengan anime atau manga alias komik Jepang. Sineasnya juga mungkin merasa gaya anime bakal lebih diterima masyarakat internasional.
Namun ada hal lain lagi yang membuat jualan nasionalisme Battle of Surabaya di permukaan (lewat menubrukkan dengan Inside Out milik Amerika dan menyebarkan kabar filmnya dilirik Disney) terasa paradoksal dengan isi filmnya.
Menonton filmnya, pesan utama yang tersirat dari filmnya justru bukan rasa nasionalisme ataupun patriotisme yang ingin ditonjolkan, melainkan universalisme. Tapi di lain pihak, pesan universal yang mengatakan “there is no glory in war” sebagaimana ditulis di tagline-nya terasa problematis. Ambigu.
Tengok saja cerita filmnya. Kita awalnya dikenalkan dengan Musa, bocah yang bekerja sebagai penyemir sepatu dan juga kurir surat para pejuang. Ia mendapati perwira Jepang yang sudah dianggapnya ayah tewas dibunuh. Kemudian, ibunya juga tewas dalam kebakaran yang menghanguskan rumahnya. Sesaat sebelum tewas, ibunda berpesan, “Tidak pernah ada kemenangan dalam perang.”
Musa bersahabat dengan Yumna, penjual kue yang orangtuanya dulu bekerja pada keluarga Belanda. Saat Jepang masuk, majikan Belanda-nya dibunuh Jepang. Ibunya dijadikan jugun ianfu.
Di sini kita mendapat kesimpulan, Musa dan Yumna adalah bocah korban perang.
Lalu, kita juga berkenalan dengan tentara Inggris yang membenci perang, karena perang membuatnya kehilangan anak-istri. Namun, caranya membenci perang justru dengan mengobarkan perang. Ada pula Danu, pejuang republik yang punya agenda tersembunyi.
Perang kemudian memakan tokoh-tokoh kita. Yumna dan Danu diceritakan tewas. Musa kehilangan orang-orang yang dicintainya.
Ketakkonsistenan Bersikap
Sekali lagi film ini punya pesan anti perang. Masalahnya, pada kenyataannya, pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 sudah telanjur dikenang sebagai momen paling patriotis dalam sejarah perjuangan bangsa kita.
Sejak dulu, pertempuran itu digambarkan sebagai momen penting saat pemuda-pemuda yang gagah berani mengorbankan nyawa mereka demi mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih. Para pejuang di Surabaya dahulu, digambarkan begitu heroik–bersenjatakan bambu runcing–melawan penjajah yang persenjataannya lebih modern.
Di film ini pula kita melihat momen-momen kunci heroisme pertempuran Surabaya seperti perobekaan bendera Belanda di Hotel Yamato maupun pidato Bung Tomo yang membakar semangat juang.
Nah, jika filmnya punya pesan anti perang, kenapa pula menggelontorkan heroisme dan rasa patriotisme peperangan? Tidakkah hal itu jadi campur aduk.
Ada novelet karangan Idrus, seorang sastrawan angkatan ’45, berjudul Surabaya. Di novelet itu, yang ditulis tahun 1947 atau tiga tahun setelah pertempuran Surabaya, Idrus memposisikan dirinya dengan jelas: baginya pertempuran tersebut bukan aksi heroik nan patriotis. Melainkan aksi para koboi.
Ia menulis, “Orang tidak banyak percaya lagi kepada Tuhan. Tuhan baru datang dan namanya macam-macam: bom, mitralyur, mortir.” Pejuang kemerdekaan disebutnya koboi-koboi. Tentara sekutu disebutnya bandit-bandit.
Idrus juga menulis:
“Di tengah jalan cowboy-cowboy ditahan oleh bandit-bandit dan diharuskan menyerahkan senjatanya. Bandit-bandit berteriak, sambil mengacungkan bayonetnya: ‘Jiwamu atau senjatamu!’
“Cowboy-cowboy tidak mengangkat tangannya dan tidak pula mau memberikan senjatanya. Mereka berteriak: ambillah jiwa kami! — dan pada waktu berteriak itu mereka mulai menembak. Bandit-bandit pun menembak dan pertempuran seru terjadi.”
Battle of Surabaya yang dihasilkan animator-animator Yogyakarta dari MSV Pictures, anak perusahaan kampus STMIK Amikom Yogyakarta. tak memiliki ketegasan sikap macam novelet Idrus. Semua sepakat, pertempuran Surabaya paling diingat orang karena pertempuran di hari itu selalu diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Maka, yang jadi pertanyaan, kenapa mengawinkan pesan anti perang di momen paling heroik bangsa kita?
Saya pernah membaca, pertempuran Surabaya dipilih sebagai latar film semata lantaran pertempuran tersebut telah mendunia.
Dari sini kemudian pembuat filmnya tampak bingung. Mau tak mau, heroisme, patriotisme, dan rasa nasionalisme di pertempuran 10 November 1945 muncul dan dikawinkan dengan pesan anti perang.
Sebetulnya, kelihatan filmnya hendak bersikap senada dengan anime masterpiece milik Studio Ghibli, Grave of Fireflies (1988). Film tersebut menceritakan bocah-bocah korban perang. Pesan anti perangnya jelas: bocah yang tak berdosa harus hidup menderita lahir batin, tak putus dirundung malang dan kemudian kehilangan nyawa.
Battle of Surabaya lagi-lagi tak punya ketegasan sikap macam Grave of Fireflies. Dengan ketaktegasan sikap itu, momen-momen dramatis saat tokoh-tokoh kita kehilangan nyawa malah tak terasa. Film ini gagal membuat karakter-karakternya menarik simpati kita, penontonnya. Bandingkan saat menonton Grave of Fireflies. Susah untuk tak menitikkan air mata saat momen klimaks filmnya.
Sekarang bicara kualitas animasinya. Sekali lagi, saya tak mempermasalahkan pilihan gaya mirip anime. Namun, bila hendak berkiblat ke gaya anime, ya jangan tanggung-tanggung. Desain karakternya sudah mirip anime, namun saat karakter-karakter itu bergerak masih terasa kaku dipandang. Kurang halus.
Yang terasa melegakan, film ini punya gambar latar yang bagus. Sedap dipandang. Dubbing dan tata suaranya pun terdengar jernih di telinga. Ini artinya, animator kita sebetulnya punya kemampuan membuat film animasi dua dimensi yang keren. Andai diberi waktu dan biaya lebih banyak lagi, hasilnya mungkin akan lebih rapi, tak kalah dari kehalusan anime.
Kelemahan kita hanya satu, pada cerita. Penggodokan cerita tampaknya belum maksimal. Alhasil, Battle of Surabaya menyodorkan cerita yang tak konsisten. Ah, andai saja… (Ade/fei)
+ There are no comments
Add yours