Film Women from Rote Island akhirnya bisa ditonton secara luas di layar lebar setelah sibuk tayang di berbagai festival film internasional.
Saat Women from Rote Island dinobatkan menjadi Film Cerita Panjang Terbaik FFI 2023, rasa penasaran saya terhadap film tersebut langsung melonjak.
“Memangnya seperti apa, sih, film itu hingga bisa mengalahkan film anu?” tanya saya sendiri.
Jujur saja, saya punya jagoan lain untuk nominasi paling prestise dalam ajang penghargaan itu. Juga, karena saya sama sekali tidak punya pengetahuan soal film Women from Rote Island sebelumnya.
Ketika saya menontonnya di hari pertama penayangan pada 22 Februari kemarin, rasa penasaran saya akhirnya terjawab.
Rasanya saya kini paham alasan Women from Rote Island dipilih menjadi Film Terbaik FFI tahun ini.
Seperti judulnya, Women from Rote Island bercerita tentang para perempuan di Rote, Nusa Tenggara Timur, yang menjadi korban kekerasan seksual dan juga patriarki yang masih kental di daerah tersebut.
Martha (Irma Novita Rihi), seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI), pulang ke kampung halamannya demi menyaksikan pemakaman ayahnya, Abram, yang telah menunggu selama delapan hari.
Jenazah Abram dibuat menunggu lebih dari seminggu karena istrinya, Orpa (Merlinda Dessy Adoe), kukuh mengatakan kepada keluarganya bahwa Martha bakal pulang dari Malaysia. Dia melawan keluarganya karena keputusannya itu adalah permintaan terakhir suaminya.
Namun, saat Martha menjejakkan kakinya di rumah lagi, dia tidak terlihat seperti biasanya. Martha terlihat depresi dan ternyata menyimpan trauma karena menjadi korban kekerasan seksual oleh majikannya di Malaysia.
Alih-alih mendapatkan bantuan agar pulih, Martha justru berlanjut menjadi korban kekerasan seksual oleh manusia-manusia bejat. Tak hanya Martha, keluarganya pun juga menghadapi kesulitan lainnya.
Menonton Women from Rote Island mengharuskan saya melepas kacamata sebagai orang kota yang sudah jauh dari adat. Kasus kekerasan terhadap perempuan tak pandang bulu. Bisa terjadi di mana saja, kepada siapa saja.
Namun, tampaknya persoalan menjadi lebih pelik, terutama jika keluarganya masih menjunjung tinggi nilai adat.
Para perempuan itu tidak hanya menghadapi stigma dan diskriminasi dari orang-orang sekitar, tapi juga berbenturan dengan nilai adat.
Sepanjang film, penonton disuguhkan adegan-adegan yang mengajarkan orang “kota” bahwa kasus kekerasan tidak semudah tinggal lapor ke polisi atau bikin thread agar viral. Mereka harus menuruti tata cara adat dalam menangani permasalahan.
Geram rasanya menyaksikan bagaimana para perempuan itu menjadi tidak berdaya melawan kemalangannya masing-masing: Orpa yang berusaha melawan adat dan patriarki demi melindungi anaknya, Martha yang memiliki trauma besar, hingga Bertha yang bernasib buruk.
Perasaan yang saya rasakan itu terbentuk berkat akting para aktor yang sangat meyakinkan. Meskipun mereka semua tidak memiliki pengalaman berakting, tapi kemampuan mereka tidak kalah dari aktor yang sudah punya daftar panjang filmografi.
Sebagai aktor pemula yang dihadapkan dengan film penuh drama yang banyak air mata dan emosi meledak-ledak, akting para aktor sangat luar biasa. Tak dimungkiri saya ikut terbawa perasaan di beberapa adegan berkat akting yang mumpuni.
Performa yang maksimal itu tidak terlepas dari arahan sang sutradara, Jeremias Nyangoen. Kolaborasi antara Jeremias dan profesionalisme para aktor, terutama dalam adegan-adegan eksplisit, patut diacungi jempol.
Tidak lupa dengan pengambilan gambar sinematografer Joseph Fofid yang didominasi dengan one take dan long shot sehingga mampu menangkap emosi dan adegan yang lebih raw.
Tapi, saya agak terganggu dengan teknis demikian karena risikonya membuat beberapa pergantian babak dan angle menjadi berantakan dan tidak mulus.
Selain itu, saya rasa keputusan yang baik dengan tidak mengambil banyak beauty shot lanskap Rote–yang biasanya dieksploitasi pembuat film lain di daerah-daerah eksotis. Keputusan itu membuat penonton tidak terdistraksi dan tetap fokus pada konflik.
Pada akhirnya menurut saya Women from Rote Island mampu menangkap betapa “horor” menjadi korban kekerasan seksual dan patriarki.
Terkait dengan akhir film yang tampak tidak “happy ending” dan tidak “selesai”, saya rasa tidak masalah. Rasanya itulah penggambaran sebenarnya dari dunia nyata.
Entah di Rote atau di mana pun kita berada, kasus kekerasan seksual memang tidak pernah menemui titik terang. Perjuangan korban mencari keadilan pun masih jauh dan akan terus berlanjut.
Related Keyword:
+ There are no comments
Add yours