Review Film: Eksil

Review Film: Eksil

Kuburan kami ada di mana-mana, kuburan kami berserakan di mana-mana, di berbagai negeri, di berbagai benua.”

Cuplikan puisi Kuburan Kami Ada Dimana-mana karya seorang eksil, mendiang Chalik Hamid, dalam pembukaan film dokumenter Eksil karya Lola Amaria ini sudah langsung membuat dada sesak sejak awal.

Saya sepakat dengan Lola Amaria yang menarasikan film dokumenter Eksil sebagai kolektif dari trauma dan rasa sakit mereka yang mendapatkan ketidakadilan buah kediktatoran penguasa.

Eksil secara kolektif mengumpulkan memori 10 orang para eksil atau mereka yang diasingkan di luar negeri karena dicap terkait dengan Partai Komunis Indonesia oleh Orde Baru.

Mereka semula adalah pemuda-pemuda Indonesia yang mendapatkan beasiswa oleh pemerintah semasa pemerintahan Presiden Soekarno ke sejumlah negara, seperti Uni Soviet dan China.

Namun peristiwa G30S mengubah segalanya, terutama semasa Presiden Soeharto naik takhta dan memimpin Indonesia yang dikenal sebagai era Orde Baru.

Pada masa itulah, mereka yang dicap atau dinilai dan seringkali tanpa parameter yang objektif, dianggap sebagai bagian dari PKI atau dekat dengan paham komunisme.

Selama 119 menit, Lola dengan cepat silih berganti memberikan berbagai kesaksian para eksil yang membuat hati ini terenyuh sekaligus menimbulkan kekhawatiran, apakah kediktatoran akan bisa kembali muncul di Indonesia?

Kecemasan itu semakin menguat seiring dengan film dokumenter yang memenangkan Film Dokumenter Panjang Terbaik Piala Citra FFI 2023 ini tayang bersamaan dengan momentum Indonesia memilih pemimpin selanjutnya.

Lola yang menulis film ini bersama dengan Gunawan Rahardja menyajikan kesaksian para eksil lewat cara yang lembut, meski tetap saja membuat miris saya yang hidup jauh dari masa saat momen kelam itu terjadi.

Rasa trauma para eksil tersampaikan menembus layar lebar. Ketika hak dasar manusia berupa pengakuan kewarganegaraan terenggut, hingga mengalami trust issue lantaran kekasih ternyata adalah intel yang ditugaskan memata-matai.

Dengan padat, Lola mengambil penggalan kisah para eksil dan menyajikannya dengan baik tanpa perlu banyak bumbu dramatisasi. Apalagi, intonasi dan mimik para eksil sudah sangat jelas menggambarkan rasa pilu mereka.

Shalahuddin Siregar selaku penyunting juga menjaga minimalisasi itu, baik dari segi tata suara dan ilustrasi, demi memaksimalkan aspek humanisme dalam kisah para eksil yang layak disuarakan lebih bergema ke generasi muda.

Apalagi, para eksil ini sejatinya hanyalah meminta keadilan juga permintaan maaf dari mereka yang pernah atau sedang duduk di kursi penguasa negeri. Namun hingga sebagian di antara mereka menyerah karena usia, impian sederhana itu tak jua terwujud.

Hanya saja, saya merasa tampilan Eksil akan lebih nyaman bila tak memaksakan diri menampilkan berbagai footage beauty shoot dari banyak lokasi.

Memang cut to cut gambar yang sangat cepat sudah terbilang awam, terutama untuk video pendek di media sosial.

Namun untuk film dokumenter dengan gaya penuturan ala kakek ke cucu ini akan terasa lebih nyaman bila pergantian gambar tak terasa seperti dikejar tayang atau mesti memakai semua footage.

Yang pasti, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada para eksil yang bersedia bercerita dan mengenang kembali rasa sakit mereka dalam Eksil: Alm. Asahan Aidit, Alm. Chalik Hamid, Alm. Kusian Budiman, Alm. Sardjio Mintardjo, Hartoni Ubes, I Gede Arka, Kartaprawira, Sarmadji, Tom Iljas, Waruno Mahdi.

Istirahat dengan tenang di tempat abadi mu para eksil yang berpulang. Panjang umur perjuangan bagi para eksil yang selalu memiliki rasa cinta yang tulus untuk tanah air meski mendapat ketidakadilan dari negeri sendiri.

Related Keyword:

Bet4d

Bet4d

Bet4d

Bet4d

Bet4d

Bet4d

Link agen togel

agen togel resmi

agen togel

agen togel

situs toto

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours