Review Film: Pemukiman Setan

Review Film: Pemukiman Setan

Pemukiman Setan jelas punya kemampuan menjadi film yang memecah penonton menjadi dua kubu secara signifikan, kubu yang menyenangi dan kubu yang sama sekali tak menikmati film ini.

Dengan pertimbangan masak-masak, saya bisa mengatakan saya tak menikmati film garapan Charles Gozali dan ditulis olehnya bersama Gea Rexy tersebut.

Hal pertama yang saya nilai adalah saya enggan mengakui film ini sebagai horor. Pemukiman Setan, bagi saya, lebih cocok disebut thriller-action dengan nuansa gore yang cukup bikin kaget.

Rasanya saya ingin teriak “pelan-pelan pak supiiiirr!” dari kursi bioskop kurang dari 30 menit sejak film ini dimulai. Gozali jelas tak mau buang-buang waktu dalam memanfaatkan adegan dengan pedang, pecahan botol, serta leher manusia.

Bagi mereka yang mengharapkan adanya kengerian setan yang bikin sulit tidur kala malam hari tapi tak bisa sanggup melihat berbagai darah dan kekerasan, ada baiknya putar balik dari film ini.

Gea dan Gozali bagi saya sangat ugal-ugalan dalam menempatkan berbagai adegan laga, gore, darah, dan meramunya dengan klenik, mistis, teror setan, serta CGI.

Saya sebenarnya menyukai gagasan Pemukiman Setan yang membuka berbagai peluang pengembangan lebih lanjut dari kisah yang cukup horor ini.

Apalagi, berbagai desain dan detail produksi yang sebenarnya terbilang mumpuni. Lokasi syuting dan skala produksinya pun terbilang on point, termasuk dari kostum, prostetik, dan riasannya.

Selain itu, sinematografi yang dikomandoi Hani Pradigya, editing oleh Teguh Raharjo dan Ahyat Andrianto menciptakan Pemukiman Setan memiliki visual yang cantik.

Meski saya merasa CGI yang digunakan tak terlalu spesial, setidaknya teknologi untuk menggambarkan cacing-cacing menjijikkan dalam film ini sudah cukup membuat saya bergidik.

Aria Prayogi yang memimpin tata musik juga tampil cukup meyakinkan dalam Pemukiman Setan. Scoring dan musik ala langgam Jawa jelas membantu narasi mistis yang dibawa oleh Gea dan Gozali.

Hanya saja, kembali lagi, saya tidak menikmati jalan cerita Pemukiman Setan. Saya tidak memahami narasi cerita yang dituturkan oleh Gea dan Gozali, hingga memasuki sepertiga terakhir film ini.

Hanya saja, kembali lagi, saya tidak menikmati jalan cerita Pemukiman Setan. Saya tidak memahami narasi cerita yang dituturkan oleh Gea dan Gozali, hingga memasuki sepertiga terakhir film ini.

Saya pun akhirnya menyadari, saya bosan dengan horor Indonesia yang setipe –mungkin– semenjak Pengabdi Setan (2017) dan Sebelum Iblis Menjemput (2018) rilis dan makin banyak saat ini. Setipe ini terlihat dari mulai konsep poster, hingga unsur yang muncul dalam layar.

Mungkin saya bisa bertanya satu hal terkait hal tersebut, ada berapa banyak film horor Indonesia sejak 2018 yang memiliki font judul di film bukan warna merah darah dengan warna latar dominan gelap?

Ada berapa banyak film horor Indonesia yang mampu membuat penonton paranoid usai keluar dari bioskop seperti dengan ibu dengan lonceng atau ketika ia mendadak muncul di balik jendela atau mukena?

Bukan maksud untuk membandingkan apalagi mengkultuskan karya tertentu, tapi saya melihat film horor Indonesia kembali ke kebiasaannya, yakni mengekor.

Tren yang sama seperti ketika era film horor yang dikombinasikan dengan penyanyi dangdut dan judul-judul aneh beberapa tahun lalu. Hanya saja kali ini agak terlihat lebih niat.

Intinya, Pemukiman Setan membuat saya sadar bahwa saya rindu akan film horor Indonesia yang bisa menggoyangkan keberanian hanya dengan adegan sepele, bukan semata-mata karena ada setan dukun era kerajaan kuno Jawa yang ingin balas dendam.

 

Related Keyword:

Bet4d

Bet4d

Bet4d

Bet4d

Bet4d

Bet4d

Link agen togel

agen togel resmi

agen togel

agen togel

situs toto

Bet4D

Bet4D

Bet4D

Bet4D

slot thailand

agen togel

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours