Jakarta, — Exhuma membuktikan film horor tak selalu soal jump scare, dan menyeramkan tak mesti banyak kesadisan penuh darah. Film ini tetap bisa buat penonton merinding setelah keluar bioskop, terutama saat mengingat kembali adegan yang baru disaksikan.
Melalui Exhuma, sutradara sekaligus penulis naskah Jang Jae-hyun kembali memamerkan penceritaan yang slow burn demi membangun perasaan tak nyaman bagi penonton.
Film itu juga bak penebusan ‘dosa’ sang penulis naskah setelah The Priests yang kurang mengembangkan penceritaan, dan Svaha: The Sixth Finger yang malah terlalu asik fokus pada narasi sehingga abai pada pendalaman karakter.
Ia kini jelas terlihat berusaha menyeimbangkan narasi, pengenalan, serta pendalaman para karakter Exhuma. Semua dibagi jadi beberapa babak, dan Jang Jae-hyun memastikan penceritaan dalam film ini benar-benar kaya.
Exhuma mungkin awalnya memperlihatkan teror mimpi buruk yang dialami keluarga kaya raya turun temurun. Kisah itu membuat penonton menyaksikan ketegangan-ketegangan seputar kekuatan tak kasat mata mulai dibangun.
Semua diceritakan perlahan dan dibalut dengan tradisi, kepercayaan masyarakat Korea selama ini. Unsur misteri terus ditambah dan diperdalam Jang Jae-hyun di tiap pergantian babak.
Dalam beberapa babak awal, penonton sudah disajikan penampilan apik dari para pemeran utama, terutama Choi Min-sik sebagai ahli feng shui dengan segala cara kerjanya yang mungkin terlihat ajaib.
Tak hanya itu, Kim Go-eun juga dengan amat mulus dan meyakinkan mengubah dirinya menjadi dukun muda dengan ritual-ritual yang mungkin tak pernah dibayangkan para penggemarnya.
Aksi tersebut dilengkapi dengan scoring dan efek suara yang begitu penuh dan padat dalam waktu lama hingga membuat ketidaknyamanan atau resah begitu terasa di kursi penonton.
Sekilas, aksi dari Kim Go-eun seperti mengakhiri teror gaib yang dialami kliennya. Secara durasi pun, itu menjadi waktu yang pas bagi keluarga kaya raya tersebut mengungkapkan hal-hal yang mereka sembunyikan selama ini.
Kendati demikian, situasi tersebut sesungguhnya menjadi babak baru bagi Jang Jae-hyun membuat Exhuma bukan sekadar film horor biasa.
Jang Jae-hyun memulai babak baru dengan memasukkan sejarah imperialisme Jepang di Semenanjung Korea, dipadukan dengan okultisme dan isu penggalian kubur yang sudah dibangun sejak awal.
Di sini lah, segala hal yang ditutupi keluarga kaya raya itu mulai terungkap. Tapi, tak semuanya dibuka secara gamblang, Begitu banyak lapisan simbolisme atas kebudayaan atau kepercayaan Korea, yang saat itu belum terbelah, dan juga Jepang disisipkan di sana.
Sehingga, simbol-simbol tersebut mungkin tak bisa dengan mudah dicerna atau dimengerti langsung oleh semua penonton. Di bagian ini yang kemudian memicu adanya catatan bagi Exhuma.
Metafor-metafor itu pada akhirnya memang bakal dijelaskan kepada penonton. Namun, penjelasan dilakukan dengan begitu cepat baik, baik melalui narasi dari karakter dan juga potongan-potongan gambar yang ditampilkan di layar.
Penonton seperti diyakini bisa merangkum dan memahami begitu banyak permasalahan yang muncul sedari awal, dan tahu dasar dari problem itu hanya dari pengungkapan yang sangat singkat.
Catatan lainnya adalah ketegangan yang dibangun dengan hati-hati dan terjaga sejak awal tiba-tiba malah tampak mereda di bagian klimaks ketika kekuatan jahat utama yang jadi pusat dari misteri dan teror film ini terungkap.
Narasi berikutnya berusaha keras untuk membuat penonton mengerti dengan segalanya, tanpa menyisakan ruang untuk imajinasi.
Ada pula karakter-karakter yang nasibnya dibiarkan begitu saja di tengah, padahal mereka sesungguhnya turut andil di balik kejadian buruk yang dialami empat karakter utama.
Meski babak-babak jelang akhir menyisakan sejumlah catatan, bagian itu pula sesungguhnya yang digunakan Jang Jae-hyun memastikan setiap karakter utama memiliki spotlight masing-masing, tanpa ada yang terabaikan.
Dalam bagian itu, penonton bisa menyaksikan lebih lanjut peran Yoo Hae-jin sebagai pemilik usaha pemakaman dan tangan kanan Choi Min-sik. Begitu pula dengan Lee Do-hyun yang sekali lagi berhasil memperlebar range aktingnya lewat Exhuma.
Ia amat baik menampilkan situasi mencekam hanya melalui ekspresi. Melalui Lee Do-hyun pula, penonton Indonesia mungkin pada akhirnya bisa merasa sedikit terhubung dengan hal-hal gaib yang ditampilkan Exhuma.
Apresiasi juga saya berikan kepada Kim Sun-young dan Kim Ji-an yang menguatkan unsur ketegangan dalam Exhuma bersama Lee Do-hyun meski mereka hanya tampil sesaat.
Pada akhirnya, Exhuma menjadi film yang menghadirkan ketegangan dan rasa tak nyaman secara implisit, perlahan, dan pasti. Horor misteri ini juga menghadirkan ‘kekuatan jahat’ yang mungkin jauh dari ekspektasi atau imajinasi penonton.
Pilihan Redaksi
Review Film: The Wailing
Sinopsis Exhuma, Kim Go-eun dan Lee Do-hyun Duet Jadi Dukun
Film ini juga menjadi salah satu yang akan saya rekomendasikan, setelah The Wailing, bagi mereka yang sesungguhnya ingin menyaksikan tontonan seram tanpa jumpscare tapi tetap bisa mendapatkan esensi dari horor itu sendiri.
Banyaknya simbolisme dalam Exhuma membuat ada baiknya menyaksikan film ini setidaknya dua kali untuk benar-benar bisa memahami akar dari permasalahan yang berujung teror mimpi buruk turun temurun itu.
Related Keyword:
+ There are no comments
Add yours