Review Film: 'Gundala'

Review Film: ‘Gundala’

Indonesia — Sukar rasanya menilai Gundala (2019) sebagai film yang bagus. Tapi di sisi lain, film ini juga tidak buruk. Kata yang mungkin tepat untuk menilai Gundala adalah “biasa.”

Ya, film yang disutradarai dan ditulis Joko Anwar ini biasa saja.

Baca Juga: about hospital

Ada beberapa faktor yang menyebabkan film ini mendapat label itu. Mulai dari eksekusi cerita, logika cerita, perpindahan antar adegan, pembentukan karakter dan koreografi masih belum terasa ajek.

Baca Juga: Ramalan angka laut selatan

Narasi film pembuka dari Jagat Sinema BumiLangit ini sendiri jauh berbeda dari seri komik Gundala Putra Petir. Dalam komik tidak pernah diceritakan masa kecil Sancaka alias Gundala. Tapi dalam film ini ada. Joko menulis kisahnya berdasarkan catatan Harya Suraminata (Hasmi), kreator Gundala BET4D.

Sejak kecil Sancaka (Muzaki Ramdhan) hidup kekurangan. Ayahnya (Rio Dewanto) buruh pabrik, sementara ibunya (Marissa Anita) tidak bekerja. Sancaka kecil pun menjadi yatim ketika ayahnya meninggal saat berlangsung demonstrasi di pabrik.

Baca Juga: Review film terbaru

Sancaka kemudian tinggal di jalanan dan belajar menjalani hidup yang keras. Tak ayal Sancaka tumbuh dewasa –diperankan Abimana Aryasatya– menjadi tahan banting dan piawai bela diri. Hanya saja, Sancaka hanya memikirkan diri sendiri.

Dari titik inilah kemudian narasi kepahlawanan Gundala dimulai. Tepatnya saat Sancaka bekerja sebagai petugas keamanan di perusahaan percetakan dan tinggal di rumah petakan. Perlahan ia sadar memiliki kekuatan untuk bisa melawan berbagai kejahatan. Termasuk melawan Pengkor (Bront Palarae), seorang mafia kaya yang mengoordinir sekawanan penjahat untuk melakukan berbagai pekerjaan kotor.

Baca Juga: seputar liga wanita dunia

Sayang cerita tidak dieksekusi dengan menarik. Aksi-aksi Gundala melawan kejahatan berlangsung datar dan tidak mengundang emosi.

Salah satu masalahnya adalah sumber motivasi Sancaka menjalani peran sebagai Gundala. Jika superhero acap kali dinarasikan punya satu trauma atau momen yang kemudian memantik rasa heroisme dalam diri, Sancaka tidak demikian. Ia tak punya motivasi kuat, dan bahkan bisa disebut kebetulan belaka jika kemudian memilih jalan memerangi para penjahat. Penonton pun kurang terangsang untuk merasa bahwa Gundala benar-benar pahlawan, patriot, dan jagoan.

Kunjungi: Seputar bola indonesia dan luar negri

Persoalan berikutnya adalah narasi yang kurang ‘ramah’ bagi film yang diberi rating 13 tahun ke atas. Bahkan, rasa-rasanya cerita juga terlalu sarat isu untuk mereka remaja berusia sampai 18 tahun yang ingin menonton Gundala sebagai hiburan.

Konflik yang ditampilkan adalah kesenjangan sosial antara kaum bawah dengan kaum atas. Selain direpresentasikan oleh orang kaya raya, golongan atas ini diwakili oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Untuk memahami cerita Gundala secara utuh, butuh berpikir lebih dan menonton dengan konsentrasi.

Baca Juga: Game tranding hari ini

Kelemahan lainnya adalah beberapa cerita yang bolong atau plot hole dalam film berdurasi 123 menit tersebut. Namun tampaknya hal ini disengaja agar cerita Gundala bisa berkembang ke seri-seri berikutnya di Jagat Sinema BumiLangit.

Selanjutnya adalah logika cerita yang kurang rapi dan matang. Ada beberapa adegan yang menimbulkan pertanyaan mengapa bisa terjadi. Salah satunya ketika tiba-tiba saja kontak Gundala amat mudah ditemukan oleh sosok yang baru ditemuinya satu kali.

Baca Juga: Rekomendasi termpat bermain tebak angka

Pun dengan perpindahan adegan yang terasa membingungkan dan melompat. Seperti ketika adegan berpindah dari perkumpulan sejumlah anggota DPR di suatu tempat, menuju saat Sancaka berdiskusi dengan Wulan (Tara Basro) dan Agung (Pritt Timothy) tentang kondisi keamanan.

Pembentukan karakternya pun terasa agak dipaksakan, terutama barisan anak buah Pengkor. Joko seperti terlalu ambisius untuk membentuk karakter-karakter yang ternyata berakhir begitu saja.

Baca Juga: Update seputaran otomotif terbaru

Faktor yang membuat Gundala (lagi-lagi) semakin terasa biasa saja adalah koreografi. Banyak gerakan baku hantam yang kaku dan terasa dibuat-buat karena pemain menggerakkan anggota tubuh secara perlahan. Terasa sangat hafalan. Cecep Arif Rahman yang bertanggung jawab atas koreografi tersebut tampaknya belum berada di level Iko Uwais atau Yayan Ruhian, yang mampu membuat adegan terasa nyata.

Kunjungi: Tempat destinasi liburan asik bersama keluarga

Satu nilai plusnya adalah efek visual Gundala tergolong bagus untuk film Indonesia. Hanya ada sedikit adegan yang terasa sebagai polesan. Itu pun masih nyaman dilihat dan tak mengganggu mata. Film ini juga ditopang oleh akting yang bagus dari seluruh pemain utama. Terlebih Bront Palarae yang bisa dikatakan merebut perhatian penonton dari Abimana.

Baca Juga: Seputaran gadged Terbaru dan canggih

Meski dengan sederet catatan tersebut, Gundala sebagai pilot project Jagat Sinema Bumilangit cukup untuk menjadi gerbang. Cukup membuat penasaran bagaimana plot hole-plot hole akan dikembangkan di masa depan, dan cukup mengapungkan harapan bahwa film kedua Gundala akan dibuat lebih baik lagi.

Baca Juga: Berita dalam dan luar negri hari ini

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours