Jakarta – X-Men: Apocalypse, film superhero terbaru Marvel ini telah tayang di bioskop Indonesia. Film ketiga dari rangkaian trilogi prekuel X-Men ini, cukup memuaskan para penggemar serial animasi klasik. Banyak hal yang seolah merevisi film X-Men: The Last Stand.
Dikisahkan, nenek moyang para mutan yang bernama En Sabah Nur, bangkit lagi dari tidur panjangnya di tahun 1983. Setelah itu, ia melihat dunia dianggapnya tak layak dipimpin oleh manusia. Akhirnya, ia menyewa empat mutan untuk menjadi kaki tangannya, demi memusnahkan umat manusia. Para ahli mutan menyebutnya sebagai Apocalypse.
Di sisi lain, sekolah mutan asuhan Charles Xavier alias Professor X, kini telah memiliki banyak murid baru termasuk Cyclops dan Jean Grey. Sebagai cikal bakal X-Men, Hank McCoy alias Beast menjadi salah satu pengajarnya. Ketika ancaman dari Apocalypse datang, mereka semua harus bersiaga.
Banyak halangan dan rintangan yang menimpa para murid Professor X sebelum mereka melangkah untuk menghadapi Apocalypse. Namun begitu, Apocalypse memiliki kaki tangan kuat yang terdiri dari Storm, Magneto, Psylocke, dan Angel. Tergantung kepada X-Men untuk bisa mengalahkan Apocalypse atau hanya berdiam diri melihat kehancuran dunia.
Penggarapan X-Men: Apocalypse dibuat sangat berbeda dari film-film sebelumnya. Di sini, kita melihat sudut pandang yang berbeda-beda dari berbagai karakter jumlahnya cukup banyak hingga akhirnya berkumpul di adegan klimaks. Konsep seperti ini memang tergolong menarik untuk membangun jalan cerita.
Namun begitu, kita akan melihat klimaks yang bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi film ini bakal memuaskan fans komik dan animasi klasik, namun dalam beberapa hal banyak yang membuatnya nyaris mirip dengan Fantastic Four versi 2015.
Maka tak heran kalau para kritikus memberikan skor “di tengah-tengah”. Ada nuansa yang terasa agak hambar di beberapa adegan penting. Entah kenapa, film ini jadi kurang terasa hidup. Meskipun begitu, unsur-unsur humor masih sanggup membuat kita tertawa.
Banyak adegan megah yang menggambarkan andai kehancuran tiba di awal tahun 1980-an. Konsep kehancuran ala film berjenis bencana alam dengan sedikit bumbu Transformers dan sejenisnya, kurang didukung oleh visualisasi yang maksimal walaupun sudah lebih baik ketimbang versi trilogi.
Tampak Bryan Singer berusaha untuk merevisi film ketiga X-Men versi awal, X-Men: The Last Stand yang rilis 2006. Singer terlihat ingin menebus dosa sutradara film tersebut, Brett Ratner, yang membuat fans murka karena dianggap terlalu berpusat pada Wolverine dan mengorbankan Cyclops, Jean Grey, bahkan Professor X sendiri.
Di sini, kita melihat lebih banyak aksi Nightcrawler yang hilang tanpa alasan di film X-Men: The Last Stand setelah diperkenalkan dalam X2: X-Men United. Selain itu, kekuatan Magneto yang dirasa kurang maksimal dalam The Last Stand diekspos besar-besaran dalam Apocalypse.
Karakter yang diyakini sebagai Psylocke ditewaskan dalam film The Last Stand dan dalam Apocalypse memiliki peran penting. Revisi lain juga termasuk kekuatan asli Jean Grey, Cyclops yang lebih bandel, nasib Professor X, sampai munculnya Archangel.
Tak hanya merevisi The Last Stand, pada satu titik, Apocalypse juga berusaha menggambarkan ulang X-Men Origins: Wolverine dengan lebih keren dan ganas. Ya, di sini kita melihat aksi sekaligus asal usul Wolverine yang dirasa sangat berbeda ketimbang film-film sebelumnya.
Rangkaian revisi sejarah dalam X-Men: Apocalypse yang melanjutkan distorsi waktu di X-Men: Days of Future Past memang terlihat keren secara visual, aksi, dan juga penokohan. Namun begitu, eksekusi beberapa penyelesaian masalah terkesan dibuat secara terburu-buru dan sedikit memaksakan. Sehingga, klimaks yang ada jadi terkesan cukup klise.
Seperti disebutkan sebelumnya, X-Men: Apocalypse menjadi tontonan wajib bagi fans animasi klasik X-Men. Film ini juga sayang dilewatkan para pencinta film superhero yang menyukai genre drama, aksi, dan bencana alam sekaligus.
bandar togel online
slot gacor gampang menang
dana toto
situs toto
scatter hitam
+ There are no comments
Add yours