Kesan intens Train to Busan (2016) saat melihat trailer Kereta Berdarah mungkin jadi alasan yang menggelitik rasa penasaran saya untuk melihat film horor garapan Rizal Mantovani ini.
Namun rasa penasaran itu tak terjawab saat duduk anteng di dalam bioskop. Bila Train to Busan diibaratkan kereta cepat, mungkin Kereta Berdarah adalah versi lokomotif uap peninggalan zaman baheula.
Ada sejumlah alasan mengapa saya merasa Kereta Berdarah adalah Train to Busan versi lokomotif uap. Hal yang paling saya sadari pertama adalah Kereta Berdarah punya unsur lawas dan tradisional lebih kental.
Hal itu terlihat mulai dari konsep cerita yang mengusung takhayul, dedemit hutan keramat, hingga latar cerita yang terlihat lawas dibanding saat ini, hingga dari segi teknologi.
Sulit menampik kesan lawas bila melihat teknologi dalam film ini, baik terkait properti seperti set kereta ataupun dari aspek dalam penggarapan seperti efek visual, CGI, sampai pencahayaan.
Saya meringis melihat CGI burung terbang menabrak jendela kereta dan pemandangan panorama yang jelas-jelas merupakan hasil komputasi dengan suntingan yang kasar.
Namun di sisi lain, efek visual berupa teror horor para dedemit kepada para penumpang kereta ini sebenarnya terbilang mulus.
Maka dari itu, saya heran ada perbedaan kualitas hasil sebesar itu bisa lolos dari mata seorang Rizal Mantovani yang dikenal kawakan dalam memainkan efek visual dalam karyanya.
Kereta Berdarah juga tak bisa dilepaskan dari tone warna dan sinematografi khas Rizal Mantovani yang sangat terlihat jelas.
Meski saya sebenarnya agak bosan dengan gaya Rizal ini, saya tak bisa menampik bahwa rasa visual tersebut menambal cerita Kereta Berdarah yang saya rasa masih kurang masak.
Pada satu sisi, saya tertarik dengan konsep film ini yang memiliki pesan keseimbangan lintas alam di dalamnya. Apalagi, mood yang dibawa dalam film ini mengingatkan saya juga akan Kuntilanak yang juga digarap Rizal pada 2006.
Namun penggarapan naskah yang ditulis oleh Erwanto Alphadullah terlihat kurang matang. Beberapa logika cerita saling bertentangan, misal durasi perjalanan yang dinarasikan dan latar budaya juga penggunaan teknologi yang ada dalam cerita.
Saya sejujurnya berharap salah mendengar saat masinis mengatakan perjalanan kereta wisata itu akan menempuh tujuh jam. Logikanya, kereta wisata apa yang butuh tujuh jam perjalanan padahal jaraknya masih dalam satu kabupaten?
Padahal, andai saja bagian itu dihilangkan atau sepenuhnya dikisahkan durasi perjalanan sesuai penayangan film, mungkin akan terasa lebih logis dan membuat penonton lebih masuk ke dalam cerita.
Kemudian, saya merasa ada ketidaksinkronan antara latar cerita dengan properti pendukung. Latar budaya dan masa yang digunakan Erwanto dalam mengisahkan cerita ini cukup menimbulkan pertanyaan bila melihat properti yang digunakan.
Apakah kisah film ini ada di awal dekade ’90 atau 2000-an? Ataukah justru lebih kekinian? Bila memang terjadi lebih dari 20 tahun lalu, mengapa ada ponsel touchscreen? Bila terjadi lebih kekinian, rasanya desain properti terlalu lawas untuk kisah tersebut.
Terlepas dari kejanggalan yang membuat saya bertanya-tanya melihat perjalanan kereta berhantu ini, jumpscare serta teror yang disiapkan Rizal dan Erwanto ini sebenarnya terbilang menghibur.
Apalagi penampilan dedemit yang ditampilkan Kereta Berdarah ini didukung dengan riasan, prostetik, dan koreografi juga scoring yang mumpuni. Setidaknya, ini menjadi sedikit pelepas dahaga saya akan film horor yang sesungguhnya.
Dengan segala yang sudah ditampilkan Rizal Mantovani, Kereta Berdarah sebenarnya berpeluang menjadi salah satu film yang menghibur penikmat adrenalin horor, bila kerikil-kerikil cerita di atas tak mengganggu laju kereta film ini berjalan.
Related Keyword:
+ There are no comments
Add yours